Ini kali aku ingin mengkombinasi secara utak-utik-gatuk antara sarapan ala Asia dan Eropa.
“Ah, kombinasi makanan ayah suka asal, gak nyambung, gak ketemu”, goda gadis-gadisku.
“Nanti di perut juga semua ketemu” kataku ngeyel.
Makanan Asia ini kali mirip burgo (penganan Sumsel) yang menurutku terpengaruh penganan Cina dan Viet Nam ini juga. Tepung-mungkin-sagu, dibuat lempeng lalu digulung, diisi sayuran. Diguyur kuah kaldu sedap terasa manis, asam dan pedas. Ditambah dengan irisan tahu goreng dan telur matasapi. Aku berbisik kepada istri:
“Ini seperti kombinasi antara: burgo, tahu gejrot dan tahu gimbal.”
Gaya Eropanya: seiris roti bakar dioles selai nanas. Minumannya, jus jeruk dicampur markisa. Aroma kopi yang teruar sedap ketika istriku mengambil di wadah cangkir kecil, membuatku tak mampu mencegah keinginan untuk menyeruput, dan ternyata .. wuiiih…kopinya sedap sekali.
Sambil tengak-tenguk menunggu ke dua gadisku turun, pandangan mataku berkeliling mengamati ruang sarapan itu. Ruang itu masih sepi. Pengunjung lain mungkin masih meringkuk di ranjang di kamar masing-masing.
Tempat itu tak besar. Tapi ditata dengan apik. Di sudut ada semacam sesajen di sebuah tempat mirip meja, tapi sedikit lebih kecil. Isinya buah-buahan, sebuah patung Budha kecil, beberapa helai kertas bertuliskan aksara Cina yang tak aku mengerti dan beberapa batang lilin menyala, berwarna merah.
Dinding dihias ornamen-ornamen sederhana tapi cantik terbuat dari limbah kayu yang dicat warna-warni. Tepat di depanku bergantungan di dinding, beberapa bingkai dari foto terbuat dari kayu yang di hubungkan dengan tambang kecil, cantik. Isinya gambar-gambar atau foto-foto indah dari beberapa tujuan wisata di Viet Nam. Ada satu quote menarik berbunyi: “If traveling was free, you’d never see me again”…
Tujuan kami hari ini adalah menuju kelenteng tertua di Viet Nam
Dalam perjalanan, sang guide bercerita. Di Viet Nam sebagian besar penduduknya menganut Budha. Sekitar 70-80% penganut Budha, sisanya penganut Kristen, Katolik dan Muslim. Tapi di kota besar seperti Ho Chi Minh ini, semakin hari, semakin banyak Muslim. Itu artinya, semakin mudah bagi kaum muslim seperti anda (sambil tertawa kearah kami, karena melihat istriku berkerudung), mencari makanan halal.
Pasar Ben Thanh, tak jauh dari hotel tempat anda menginap, banyak restoran yang menyajikan makanan halal. Pemiliknya umumnya orang-orang Malaysia, ada juga orang asli Viet Nam. “Orang asli Viet Nam?” tanyaku memotong.
“Ya,…Cukup banyak orang asli Viet Nam pemeluk Islam, yaitu orang dari suku Campa”…
Keleteng itu, memang bukan yang terbesar. Tapi salah-satu yg tertua. Terletak di tengah-tengah daerah yang agak padat sehingga untuk parkir pun susah. Kendaraan wisata, diparkir agak jauh. Kami harus jalan sedikit untuk sampai di klenteng.
Di halamannya terdapat pohon besar dan rindang. Di bawahnya berteduh para manula cuma mengenakan kaus singlet, sepertinya penduduk setempat sedang berbincang dan berteduh.
Hampir semua manula merokok.
Klenteng agak gerah dipadati turis. Sepertinya klenteng ini setiap hari dipadati orang. Turis dan penduduk setempat yang ingin berdo’a. Di halaman terdapat brberapa kolam ikan dan kolam yang dipenuhi kura-kura. Orang Viet Nam, seperti juga org Cina percaya bahwa kura-kura adalah simbol panjang umur.
Sang guide berceloteh bahwa Presiden Obama pernah berkunjung ke klenteng itu dan ikut berdo’a bersama-sama penduduk. Semua pemeluk Budha setiap hari berdo’a. Meminta apa saja. Rezeki, jabatan, kesehatan, jodoh, supaya disayang mertua (hahaha), dan ‘the last but not least‘ berdo’a meminta supaya dapat anak bagi yang belum. Bahkan yang sudah punya anak (perempuan) pun, msh juga berdo’a supaya mendapat anak lelaki.
“Eh, ngomong-ngomong…Obama berdo’a di klenteng itu…minta apa ya?” tanyaku menggoda sang guide.
“Who knows?…katanya. Siapa tau dia berdo’a supaya dia tetap jadi presiden untuk satu priode lagi, dan ternyata permintaannya terkabul. Atau minta supaya diberi anak lelaki?,…’kan kedua anaknya perempuan,…seperti anda,…hahaha…
Dalam perjalanan ke tujuan wisata berikutnya, istriku membuka ‘bekal’ yang tadi dengan ‘niat’ ketika sarapan disusupkan ke dalam tas tangannya. Beberapa potong (agak banyak sih, hehe) kentang goreng, beberapa potong ayam goreng dan semacam risol yang isinya tarasa antara irisan jamur atau rebung dengan aroma udang kering…
Oya, istriku membawa sambal terasi kemasan sachet dari Tanahair.
Aromanya membuat sang guide menoleh. Kami tawarkan, tapi dia menolak denganhalus sambil tersenyum-senyum. Mungkin ‘mengenali’ bekal yang kami ‘susupkan’ dari hotel ketika kami sarapan tadi…
(Aries Tanjung)