Aku pernah membaca novel berjudul “Jakarta”
Novel itu tanpa dialog sama-sekali. Mungkin itu pertama kali novel tanpa dialog, semua berisi narasi (adakah dengan begitu masih layak disebut novel? aku tak tau). Bercerita bahwa masa depan dunia berada di Asia.
Asia digambarkan seolah anak remaja dgn gairah penuh. Berderap, bergegas dan berdegup. Bahwa Eropa adalah benua sepi dan tua. Seperti sosok manula yang sedang menuju ambang kematian…
Dulu, orang Eropa adalah pelopor, petualang dan selalu mengeksplorasi kemampuan untuk menemukan ‘dunia baru’. Menemukan ‘dunia yang lebih baik’
Sejarah kolonial mungkin sudah berlangsung sejak abad ke 14. Ketika negri kita (waktu itu tentu namanya belum Indonesia) dikunjungi Belanda, sebetulnya sebelum itu sudah disatroni Portugis dan Inggris. Inggris dianggap negara dengan koloni terbanyak di dunia.
Para kolonialis (kata halus dari penjajah) selalu berkilah bahwa mereka bukan penjajah. Negara Inggris mengaku ‘menularkan’ sikap ‘gentlemen dan ketertiban’. Spanyol dan Portugis mungkin ge-er karena merasa menularkan ‘rasa’ berkesenian. Prancis menganggap negri mereka sebagai negri pengajar demokrasi, dengan slogan yang terkenal: ‘liberte-egalite-fraternite’.
Dulu ada tokoh di negri kita (entah tokoh apa, yang jelas bukan tokoh kelontong) mengatakan bahwa kita, selama 350 tahun itu bukan dijajah oleh Belanda, melainkan…bla…bla…bla…(ngalor-ngidul-ngetan-ngulon, tak jelas…), mungkin sang tokoh mewakili orang2 yang malu karena dijajah. Atau memang kita ‘tak merasa, tak sadar, terlena dan lupa’ bahwa kita dijajah, karena Belanda ‘mainnya’ halus atau terlalu lama bercokol di sini.
Indocina (Kamboja, Laos dan Viet Nam) pernah menjadi koloni Prancis.
Seperti kebiasaan negri penjajah (beda tipis ejaan dan pengertiannya dengan penjelajah, hehe), mereka selalu menganggap negri yang mereka jajah atau jelajah selalu mempunyai budaya yang lebih rendah dari mereka.
Mereka merasa lebih relijius daripada negri yang mereka datangi. Maka untuk ‘mendidik’ supaya lebih ‘berbudaya’ dan lebih relijius, dibuatlah simbol-simbol keagamaan yang mereka bawa dari Eropa.
Sejauh-jauh petualangan dan penjelajahan, tentu mereka rindu pada kampung halaman. Lalu mereka membuat kantor pos megah, supaya para petinggi dan warga mereka yang rindu bisa sedikit terobati, jika berkirim kabar pada kerabat.
Sore itu, setelah hampir seharian mengelilingi Ho Chi Minh City, kami diajak ke Gereja indah buatan Prancis yang dibangun antara th 1863-1880.
Gereja dua menara yang cantik berwarna kemerahan itu terletak di wilayah Pan Ngu Lao. Orang Viet Nam menyebut gereja itu: No Tha Duc Ba, Saigon (mohon ma’af kalau salah tulis, meski jika salah pun dunsanak gak tau ‘kan, haha). Orang Prancis menyebut: Cathredale Notre Dame de Saigon.
Sayang sekali gereja itu sedang di renovasi, jadi kami tak bisa mendekat, apalagi untuk melihat-lihat bagian dalam.
Persis di seberang geraja itu terdapat bangunan indah berwarna kuning-ocre. Itulah kantor pos yang sampai sekarang masih berfungsi, meski berkirim surat-menyurat hanyalah tinggal nostalgia belaka, di zaman gadget, digital, smartphone di mana ‘berita detik ini bisa dilihat detik ini juga’.
Kantor pos itu menempati area yang luas. Pekarangan depannya berlantai batu-batu alam besar-besar berwarna hitam yang masih terawat dengan baik. Bangunannya pun selalu nampak ‘seperti baru dicat’ dgn warna kuning-ocre. Tampak megah dan kontras dengan bangunan di sekitarya.
Karena terlalu lelah, aku hanya duduk-duduk saja mencari tempat berteduh agak jauh di pelataran yang ramai sekali dgn wisatawan.
Konon bangunan kantor pos nan elok ini dirancang oleh: Gustav Eiffel. Yak, arkitek perancang menara Eiffel yang terkenal itu.
Di pelataran banyak penjual cinderamata yang berhubungan dengan surat-menyurat. Antara lain pedagang kartu pos.
Kartu pos itu dibuat detail dan sangat indah, dari kertas yang kita kenal sebagai kertas ‘bufalo’ atau ada juga kertas karton ‘kulit jeruk’ berwarna-warni. Tapi warna yang mendominasi (mungkin karena waktu itu menjelang Gong Xi Fa Chai) adalah merah, krem dan kuning. Ada juga biru, hijau dan hijau toska.
Kartu-kartu itu digambar, tepatnya dengan cara ditoreh atau diiris-iris dengan cutter. Temanya beragam, mulai dari bentuk gereja, gedung kantor pos, bangunan-bangunan yang menjadi penanda Viet Nam, hewan, gunung, sawah dan yang paling banyak tentu saja gadis dengan non la (caping terbuat dari daun lagi lontar) mengenakan ao dai (pakaian sutra/satin khas Viet Nam) sedang naik sepeda.
Ketika kunjungan selesai dan kami menunggu di mobil, gadis-gadisku belum juga muncul. Sang pemandu wisata bertanya. Aku bilang, paling-paling mereka di gerai itu, aku menunjuk gerai Mc Donald. Eh, sang pemandu (yang memang agak sinis kepada Amerika) bergurau:
“Aaah, mereka beli ayam goreng di paman Donaaald. Yaaah, remaja di mana-mana sama saja. Mereka suka fast-food. Padahal rasa ayam goreng di mana pun sama saja bukan..?”
(Aries Tanjung)
Keluyuran ke Viet Nam, “Shangri-La”