Hotel tempat kami menginap serba mungil. Bangunannya ‘tipis‘ menjulang sampai 10 lantai. Loby cuma muat sebuah meja dan 3 kursi dengan koran-koran dan majalah yang tak kumengerti.
Kamar kami mungil. Lemari pakaian mungil cuma menyediakan sebuah gantungan baju (pantas ada ibu-ibu yang kuduga orang Malaysia membawa gantungan baju sendiri, hihi-ah, mungkin habis mborong di sini buat di rumahnya?). Meja rias, sebuah kursi, kamar mandi semuanya mungil. Bahkan sabun mandi dan pasta gigi pun…bukan lagi mungil, tapi imut. Kemasan pasta gigi hanya sebesar ujung kelingking, lucu…
Setelah mandi sore, aku tengak-tenguk menunggu istri sambil menyeduh teh dengan air panas yang kujerang di wadah air bercolokan listrik. Aroma tehnya harum, rasanya pun enak. Setelah menyeruput teh, lalu aku cetak-cetek menghidupkan dan mengecek beberapa saluran televisi. Semua acara berbahasa Viet Nam.
Bahasanya di telingaku terdengar lucu. Seperti orang berbicara antara bahasa Cina dan kemboja tapi dengan irama dan logat…Sunda, unik dan berirama. Sebagian besar acara wawancara, kuis-kuisan dan olahraga (terutama sepakbola). Apalagi sepakbola Viet Nam yang seperti ‘anak kemaren sore’ sudah mengejar persepakbolaan kita sekarang.
Oh, ada juga saluran Fox yang menayangkan film Hollywood, tapi semua pemainnya ngomong Viet Nam, hehe. Aku mampir di saluran itu. Film remaja. Ceritanya tentang remaja usil sedang mengintai cewek baru pindah ke rumah tak jauh dari rumahnya. Dia mengintai dengan teropong. Tiba-tiba dia melihat ada seorang lelaki berwajah kejam sedang menyeret-nyeret kantung plastik hitam besar berisi seperti tubuh manusia. Ketika aku cerita keoada anak gadisku, dia langsung bisa menyebutkan judul film itu,…wah, sdh kecanduan nonton film kayak bapaknya dulu, kata istriku.
Setelah itu, lalu turun ke loby, menunggu gadis-gadis kami. Sore itu kami memang berencana jalan-jalan sampai malam agak larut. Sejauh yang kami bisa tempuh. Maksudku sejauh dan sekuat istri dan dua anak gadisku kuat bergantian mendorongku di kursi roda, haha. Yak, aku memang mampu berjalan, tapi agak cepat lelah. Jika jalan bergelombang dan sulit dilalui kursi, aku turun dan berjalan kaki terseok-seok. Jika jalan kembali mulus, barulah aku kembali ke kursi.
Jalan di depan hotel sudah penuh. Orang-orang muda yang duduk-duduk di kursi-kursi kecil di pinggir jalan di depan cafe. Mereka berbincang dengan riang dan antusias, sepertinya mereka tak terganggu hiruk pikuk dan suara klskson mobil yang bersahutan di jalan.
Seorang tukang semir sepatu menawarkan jasa, menunjuk-nunjuk sepatuku. Sambil tertawa-tawa dalam bahasa Indonesia kubilang: No, no! Sepatu kanvas kok mau disemir, yang bener aje cooy!”. Anakku menukas: mungkin maksudnya dicuci, ayaah. Suasana nongkrong sambil makan, minum dan ngobrol di tepi jalan itu mungkin ditularkan oleh orang Prancis. Yak, Viet Nam memang pernah menjadi koloni Prancis.
Seorang pelayan cafe yang sibuk menyeberang jalan sambil membawa minuman menegurku ramah. Dia mengenaliku sebagai ‘calon pelanggan‘ baru yang mampir di warungnya siang tadi.
Kami berbincang sekelebat. Bahasa Inggrisnya lebih ‘ancur’ dari bahasa Inggrisku, tapi aku menangkap maksudnya. Rupanya dia bekerja di 2 cafe yang berseberangan. Dan ternyata cafe yang sama. Siang dibuat warung makan yang menyediakan Pho, seafood dll, ketika malam ‘gerobak dapur’ disingkirkan. Warung makannya berubah menjual minuman beralkohol. Menjadi tempat nongkrong sambil menikmati minuman keras berbagai merk.
Kami menyusuri jalan. Lampu-lampu dan lampion yang didominasi oleh warna merah dan kuning mulai menghiasi kota. Ah, rupanya kota ini sedang bersiap menyongsong Gong Xi Fachai.
Agak jauh dari hotel kami, terdapat hotel-hotel mewah. Dengan nama-nama hotel berbahasa Inggris atau Prancis.
“Ayah”, goda anakku. “Ini baru hoteeel!”
“Pasti muahaal” kataku.
“Gak kok,…cuma 4 juta Dong semalam hehe,…nih, yg ini!”…kata anakku sambil menunjuk sebuah hotel yang magrong-magrong dgn lampu-lampu terang benderang.
“Haaah,…Kakak tau dari mana? Tanyaku heran kpd si Sulung. “Kakak barusan googling”, hehe…dasar anak millenial!…
Barjalan malam hari lebih menyenangkan. Mungkin karena di mana-mana terang benderang, udara tak panas seperti tadi siang dan relatif aman. Tau-tau kami sudah tiba di sebuah taman luas (nanti saja aku ceritakan lebih jauh tentang taman itu ya?). Yang aku maksud aman, yaitu aman dari tindak kriminal. Tapi, di jalan-jalan rayanya gak janji deeh.
Agaknya hampir tak ada peraturan untuk pengendara sepedamotor. Di Jakarta kita akan marah-marah jika ada sepeda motor melawan arah atau mencuri-curi melintas di trotoar. Hehe, di Ho Chi Minh City, dunsanak harus ekstra hati-hati. Karena sepedamotor melawan arah, parkir atau melaju ngebut di trotoar adalah pemandangan biasaaa.
Helm yang di kenakan oleh pengendara sepeda motor pun nampaknya hanya basa-basi, hanya untuk memenuhi kewajiban bahwa mengendarai sepedamotor harus memakai helm, bukan untuk melindungi kepala ketika membentur aspal atau benda keras lain.
Helmnya dari plastik, ala kadarnya, kecil, jelek, hanya seperti ‘nangkring‘ saja di kepala.
Tak ada kulihat polisi lalu-lintas, baik di jalan atau bersembunyi, hehe. Tapi hampir tak kulihat terjadi kecelakaan karena perilaku sepedamotor yang seenaknya itu. Mungkin karena sudah terbiasa.
Seorang gadis bule, mengendarai sepeda motor, melawan arah, di trotoar, berdesak-desakan, berebut jalan dengan kursi rodaku. Kutatap wajahnya dengan tenang (sambil berusaha menahan geram).
Si gadis bule, malu…Akhirnya:..”I’m so sorry”, katanya pelan sambil mempersilakan kursiku lewat.
Anak gadisku bergumam:…”Mungkin pikir si bule,…kapan lagi melanggar peraturan. Atau,…kapan lagi mengendarai sepedamotor tak pakai aturan..!”
(Aries Tanjung)