Keluyuran ke Viet Nam, “Menuju Mui Ne”

Setelah blusukan mengeksplorasi mengeksplorasi kota Ho Chi Minh, lalu kemarin ke Delta Mekong dan bersitirahat satu hari, kami siap jalan lagi.

Ke mana lagi kita?
“Pantaaai, kata gadis-gadisku serempak. Maka, kami pun segera mencari info di gerai agen perjalanan. Gerai agen perjalanan dekat hotel tempat kami menginap itu kecil saja. Nyelempit di sebuah ruko.
Karyawannya cuma 2 orang bergantian menjaga. Kemaren petugas jaganya seorang wanita muda. Kali ini dua orang lelaki, yah sedikit lebih tua dari anak-anakku.

Ketika kami sampai di gerai agen perjalanan, petugas wanita muda itu sedang berkemas, bersiap pulang digantikan oleh para pemuda rekan-rekannya. Melihatku, si petugas perempuan muda yang ramah itu (seperti umumnya karyawan agen perjalanan, hehe) menegur kami dengan gembira:

“Aah,…bagaimana perjalanan ke Delta Mekong tempohari?,…asyiiik, bukan”
Kami mengacungkan jempol.
“Sekarang mau ke mana lagi?”
“Ini baru mau melihat-lihat, gadis-gadisku sih mengajak ke pantai”
“Aa…kalau begitu, berbincang saja dengan petugas yang menggantikan saya itu,…sekarang giliran mereka jaga”.

Di wilayah selatan, paling tidak ada 3 pilihan pantai yang layak dikunjungi. Pertama. Pantai Vang Thau. Tapi yaaah, pantai biasa saja. Sekitar 2 jam perjalanan dari Ho Chi Minh.
Lalu Ada pantai di Dan Nang. Tapi harus paling tidak 3 hari, sekitar 2 hari perjalanan pergi-pulang, sehari di sana, karena jauh.

“Naah, saya menyarankan kalian ke Mui Ne. Berangkat sekitar pukul 22.00 sampai di Mui Ne subuh. Kalian bermalam di bus,…tidur. Begitu bangun, subuh kalian sampai.”
“Tidur? Di bus mana bisa enak tidur?!. Biasanya bersandar dipaksa tidur, badan malah sakit”
“Kalian bisa membeli tiket bus malam biasa atau kalau mau ‘tidur sungguhan’, ada Sleeping Bus’ memang sedikit lebih mahal”.
“Sleeping Bus?” tanya kami serempak, agak heran
“Ya!. Tuh, foto busnya.”

Si petugas agen perjalanan menunjuk foto-foto tujuan wisata pada dinding di ruang kecil itu. Dalam foto terlihat sebuah bus lumayan bagus seperti bus malam pada umumnya. Yang tak biasa adalah foto bus yang tampak bagian dalam. Bus dengan kursi-kursi memang dibuat seperti tempat tidur, paling tidak, nyaman untuk berbaring! Waah, boleh juga nih!…

Rancangan bus bagian dalam itu dibuat sedemikian rupa. Kursi-kursinya memang dibuat supaya penumpang bisa berbaring. Benar-benar berbaring, karena badan bisa rebah dan kaki bisa berselonjor dengan nyaman. Bisa tidur, mungkin mendengkur. Wah, kalau begitu cuma mengangkut penumpang sedikit dong, batinku. Aah, ternyata tidak.

Kursi-kursi bus itu dibuat seperti tempat tidur dalam keretaapi. Sisi kiri-kanannya dipasangi semacam ‘pagar’ terbuat dari plastik kokoh atau semacam karet yang kuat tapi lentur, tentu saja supaya penumpang tidak menggelimpang ke samping atau ke bawah ketika tidur. Lebar tempat berbaring, masing-masing sekitar 60cm. Jika penumpang ingin duduk, tinggal meluruskan sandaran ‘tempat tidur’ (tetapi penumpang biasanya memilih bus itu memang untuk tidur).

Bus itu mengangkut sekitar 40 orang.
‘Kursi sekaligus ranjang’ di dlm bus itu dibuat 3 baris. Masing-nasing baris dibuat dua susun. Satu baris bisa menampung 6 orang. Paling belakang bisa menampung 4 orang. Aah,…betul gak jumlah penumpang hasil hitunganku?…

Dari Ho Chi Minh City ke Mui Ne, diperkirakan memakan waktu sekitar 5-6 jam. Kami sampai di gerai agen perjalanan sekitar pukul 21.30. Katanya bus akan menjemput. Ah, ternyata ada perubahan. Kami dipersilakan naik taksi ke pangkalan bus malam itu dan ongkos taxi ditanggung oleh agen perjalanan.

Kami berangkat diikuti petugas agen perjalanan. Sampai di pangkalan bus malam jam 21. 40. Masih ada waktu sekitar 10 menit. Ada perdebatan sedikit dengan sopir taxi. Ketika turun dari taxi, pak supir ‘dgn bahasa Tarzan’ meminta ongkos taxi.

Dengan bahasa Tarzan juga aku bilang bahwa ongkos taxi nanti dibayar oleh petugas dari agen perjalanan yang memanggil taxi ini tadi. Aduuh, ke mana pula orang itu kok belum sampai, padahal dia mengendarai sepeda motor.

Sopir taxi ngotot, aku pun bertahan. Sopir taxi sampai perlu memanggil seorang petugas Satpam hotel di dekat pangkalan bus yang sedikit bisa bicara Inggris, untuk menagih ongkos taxi. Aku tetap bertahan! Istri dan anak-anakku sudah menyuruh aku membayar saja ongkos taxi itu, toh cuma 60 ribu dong atau sekitar 45 ribu rupiah. Aku hampir menyerah. Eh, tiba-tiba sang petugas agen perjalanan muncul. Lalu membayar taxi.

“Ma’af” katanya. Tadi saya menunggu di situ. Ternyata taxi parkir agak jauh karena di depan pangkalan banyak bus parkir.

Menunggu di pangkalan bus sudah penuh calon penumpang. Kami berdiri menunggu. Seorang turis bule menawariku untuk duduk. Aku bilang terima kasih, tak usah, karena aku membawa kursi roda. Ternyata bus datang terlambat.

“Mumpung masih menunggu, ayah pipislaah” bisik gadisku. Dia maklum, ayahnya memang mudah beser. “Perjalanan kita jauh lho” “Paling-paling ada toilet. Masak tempat tidur aja dibuatin kok, masak’ gak dibuatin toilet.”

Pukul 22.45, bus datang. Penumpang bersiap naik. Tapi kok tersendat di pintu masuk? Ooh,…ternyata penumpang diminta melepas sepatu atau sandal. Diberi kantong plastik untuk wadah supaya bisa ditenteng dan digantung di dekat ‘kasur’.

Barang-barang penumpang bus antar kota dimasukkan ke bagasi bus di bagian bawah, termasuk kursi rodaku. Wadduh, ternyata benar tak ada toilet.
Ketika kutanya: “Setiap jam mobil berhenti, mampir sebentar kok di tempat peristirahatan” kata kondektur. Ah, amaaan.

Ternyata desain sleeping bus itu keren. Kursi dibuat sedemikian rupa sehingga kita bisa benar-benar tidur, bukan sekadar bersandar.
Kata istriku, aku di bus aja bisa mendengkur, busyet…

Mui Ne,…here we come…

(Aries Tanjung)

Keluyuran ke Viet Nam, “Koloni”