Ketika istri dan ke dua gadisku menyelusuri Fairy Stream, sungai dangkal, jernih yang dasarnya pasir lembut berwarna merah-oranye itu, aku tak ikut. Aku menikmati teh hangat sambil tengak-tenguk melihat para sopir jeep main kartu, berbincang atau sarapan Pho.
Sekitar setengah jam kemudian mereka muncul, menenteng-nenteng sepatu. Oya, selama jalan di sungai dangkal tadi, mereka memang harus melepas sepatu.
Setelah menyeruput sisa teh pesananku, gadis-gadisku ternyata tertarik, terhirup wangi aroma teh yang menguar sedap. Lalu mereka pun memesan teh hangat. “Ayo Dek, minum teh hangat dan sarapan Pho” kataku kpd si Bungsu yg msh nampak lesu.
Pemilik warung mulai menata-nata mangkuk dan bahan-bahan mentah yang siap dibuat Pho. Gadisku menggoda.
“Ayah ‘gitu banget ngeliat Pho, tertarik yaah?,…pesen aja”
“Gak ah, belum lapar”…
Tiba-tiba…”Go?!”,…tanya si Rap.
“Eh, ternyata bisa ngomong Inggris lo yee?” gurauku. “Where?” “Oke,…oke!,…jiaaah, dia ngomong oke, oke lagiii. Ape kate lo deh Rap.
Lalu Kami bersiap-siap menuju spot terakhir di Mui Ne. Itu pun setelah dia menyorongkan tangan memperlihatkan layar hp-nya, di situ tertulis: “Last spot “Fishing Village”.
“Ooh,…oke, oke kataku.
Lalu wuuss,…jeep STW (yang kemaren gak mengikuti catatanku, stw itu: setengah tuwo ning masih wuuss, wuuss, wuuss), meluncur lagi menuju Fishing Village.
Kali ini udara mulai hangat, tak sedingin pagi tadi, sehingga terpaan angin yang menerobos dari jendela jeep terasa menyejukkan. Desa-desa yang kami lalui di perkampungan nelayan itu relatif sepi. Penduduknya tampak makmur. Rumah-rumah nelayan nampak bagus-bagus, besar-besar dan terawat. Sepedamotor dan sepeda ontel nampak berjajar, terparkir di luar rumah yang semua hampir tanpa pagar.
Jalan-jalan desa itu relatif mulus. Sesekali kami berpapasan degan sepeda motor atau sepeda ontel yang membawa keranjang besar terbuat dari bambu berisi hasil tangkapan nelayan. Setiap berpapasan, menyusul sepeda ontel atau sepeda motor, Rap selalu menegur mereka. Kadang hanya membunyikan klakson yang dibalas dengan teriakan akrab atau lambayan tangan, beberapa memang ditegur ‘beneran’, ketika jeep-nya melambat.
Mereka yang disapa itu nampak mengenalnya. Ah, si Rap mungkin saja ingin ‘pamer’ bahwa dia adalah sosok yang gaul dan terkenal, hehe. Atau dia memang kenal sungguhan karena ini kampung halamannya?. Aku ingin sekali bertanya untuk mengetahui. Tapi aah,…bagaimana caranya, jika dia cuma bisa bilang: Oke, oke?!. Ah, tapi coba aku tanya: “Rap,…are they your friends?”…
“Oke,…oke…(hahaha,…tuuh ‘kaan). Lalu Rap menunjuk-nunjuk ke depan. Rupanya dia menyangka aku menanyakan: kapan kita sampai?…
Jeep berhenti di pelataran sebuah restoran seafood besar yg masih tutup. Tapi beberapa karyawannya mulai membongkar muatan. Mereka mengeluarkan dan menurunkan dari mobil boks hasil tangkapan nelayan: cumi, kepiting, berbagai jenis ikan dan udang. Semua masih segar.
Lalu Rap menunjuk-nunjuk ke samping kanan restoran itu. Beberapa wisatawan juga turun dari jeep mereka, berjalan beriringan ke arah yang ditunjuk oleh Rap.
Setelah berjalan tak terlalu jauh, kami sampai di tepi jalan agak berbukit. Aku lihat banyak wisatawan memandang ke bawah dengan terpaku, beberapa orang memotret. Ternyata di bawah sana ada pemandangan menakjubkan. Dari ketinggian ini kami bisa melihat pantai indah yang membentang dgn langit biru cerah.
Perahu-perahu nelayan nampak kecil-kecil berserak menenuhi pantai. Panorama itu begitu elok dari kejauhan ini. Nelayan terlihat seperti noktah-noktah bergerak, seperti menurunkan dan memuat barang-barang. Yang juga unik adalah: banyak sekali berserak, benda-benda seperti mangkok terapung-apung di sepanjang pantai. Seperti mangkok,…atau malah orang-orang Viet Nam dengan bergurau bilang: seperti kutu!…
Si sulung rupanya tak puas hanya melihat-lihat dan membuat foto-foto dari ketinggian ini untuk menyaksikan pemandangan menakjubkan di bawah, di kejauhan sana. Setelah kucari-cari dengan menoleh kiri-kanan, tak juga kutemukan, akhirnya aku bertanya pada istri. Rupanya si Sulung turun agak jauh ke bawah sana dengan membawa kamera SLR-nya. Ku cari-cari tak ketemu. Setelah istiku menunjuk ke satu titik, barulah si Sulung terlihat, kecil sekali di tengah-tengah kesibukan para nelayan yang sedang memilah-milah ikan.
Ternyata ‘kutu-kutu laut’ itu jika nampak dari dekat adalah perahu nelayan tradisional. Hampir semua nelayan tradisional di Viet Nam menggunakan perahu berbentuk unik seperti itu.
Perahu berbentuk seperti mangkuk atau bola yang dibelah tepat di tengah itu memang tak bisa ‘berlayar’ terlalu jauh dari pantai.
Perahu itu nampaknya hanya digunakan untuk mencari ikan di tepi pantai saja. ‘Badan’ perahu itu terbuat dari anyaman bambu, mirip tudung saji penutup penganan di meja makan yang digunakan secara terbalik. Ke dua sisinya dibuat semacam tangkai berlubang untuk meletakkan atau memasukkan gagang pendayung. Untuk duduk, sang nelayan hanya meletakkan sebilah papan tepat di tengah perahu. Supaya perahu tak bocor, atau tenggelam, dinding perahu itu diberi aspal atau dicat tebal-tebal. Setiap perahu (mungkin di instruksikan) mengibarkan bendera Viet Nam.
Aku pernah menyaksikan tayangan di saluran TLC (Travel and Living Chanel) acara semacam lomba yang dimaksudkan untuk pariwisata dan-rentu saja-lucu-lucuan.
Lomba itu adalah mendayung perahu dari suatu titik ke titik tertentu yang tak terlalu jauh di suatu pantai. Beberapa orang peserta lomba yang bertubuh atletis bertanya dengan jumawa:
“Apakah tak terlalu dekat jarak itu untuk suatu lomba?!”
“Ah, tidak. Jarak itu malah agak jauh bagi yg belum terbiasa”
Panitia lalu memberitau bahwa lomba menggunakan perahu nelayan tradisional Viet Nam. Beberapa peserta lomba yang sdh mengetahui tentang perahu nelayan itu tertawa-tawa sambil berkata:
..”What?!,…no way!”. Yang tak tau, bingung dgn ekspresi bertanya-tanya.
Ketika lomba berlangsung, hampir semua peserta tak ada yg sampai di garis finish. Semua peserta hanya berputar-putar saja tapi tak tau bagaimana harus bergerak maju…
(Aries Tanjung)