Shangri La secara harafiah berarti “Suatu tempat sangat indah selayak surga”.
Banyak wilayah mengklaim tempat mereka adalah Shangri-La. Dalam sebuah novel karangan seorang perempuan Cina yang dibesarkan di Prancis, tempat itu digambarkan berada di perbatasan antara Cina dan Myanmar (sebelumnya bernama Burma).
Ada juga yang mengklaim tempat itu adalah wilayah yang disebut Nagaland, di antara India, Myanmar dan Cina. Seorang teman gitaris malah pernah ‘manggung’ bermain gitar di Nagaland (wuiih, hebat! colek Jubing).
Ada juga referensi yang menyebut Shangri La berada di kaki pegunungan dekat Himalaya.
Pendeknya, itu adalah tempat sangat indah, nyaman, tenang jauh terpencil dan terisolir dari ‘dunia luar yang sudah tercemar’.
Di Jakarta Shangri-La yang kuingat adalah termasuk salah-satu pelopor perumahan mewah (real estate), berada di selatan Jakarta. Juga hotel mewah, entah berbintang berapa.
Ketika gadis sulungku memesan tiket dan hotel, dia tentu tak mengharapkan akan mendapatkan hotel semewah seperti yang ada di Jakarta. Yaah pastilah sedikit lebih kecil, bolehlaah, paling tidak ada kolam renang. Dua anakku memang suka berenang. Mereka sudah menyelipkan pakaian renang di antara tetek-bengek bawaan mereka di dalam koper.
Eeh, ternyata yang didapat adalah hotel “kelas ruko”. Tak apalah Kak, Dek. Yang penting hotel ini berada di tengah-tengah kota, mudah mencari agen perjalanan, bersih, cukup sejuk dan aman. Bukankah semua kriteria itu adalah sesuatu yang mewah?”. Gadis-gadisku cuma nyengir…
Dengan berdebar aku tanya soal namaku yang berbeda antara di pasport dengan nama di tanda buking hotel (karena anakku mendaftar dengan namaku yang di KTP).
“Tenang Yaah,…sudah kakak minta dan mereka sudah mengkonfirmasi sesuai nama di pasport kok”.
Kami lalu mendaftar. Menunjukkan tanda buking. Ketika menuju ke kamar masing-masing (kami-aku dan istri-di lantai 1, sementara anak-anakku di lantai 3), istriku mengingatkan dengan berbisik:
“Kenapa mereka menahan pasport kita, bukankankah kita sudah membayar lunas hotel ini?!”.
Lalu aku menanyakan hal itu. Perugas front desk dengan ramah menjawab:
“Rasanya pasport-pasport anda lebih aman jika di simpan saja di sini. Lagi pula tak akan ada yang menanyakan pasport ketika anda berwisata di seluruh Viet Nam. Daripada anda bawa-bawa, lalu hilang,…bukankah lebih merepotkan. Tapi itu terserah sih. Jika anda tetap ingin membawa pasport, ma’af, anda harus memberi uang jaminan masing-masing 1 juta Dong. Bagaimana? Satu juta Doong? Kami bengong. Akhirnya kami memilih opsi pertama.
Hotel ini memang strategis berada di tengah hiruk pikuk Ho Chi Minh.
“Kombinasi antara Kuta di Bali dan Kemang di selatan Jakarta” kata anakku.
Tapi yaa…itu…hotelnya kecil seperti ruko. Mungkin lahannya adalah gabungan 2 buah ruko. Setiap lantai cuma terdiri dari 5 buah kamar. Hotel ini tinggi ‘menipis’ mencapai 10 lantai.
Ruang lobynya kecil, cuma seperti ruang tamu sebuah rumah sederhana dengan 2 buah sofa, sebuah kursi dan sebuah meja dengan koran-koran yang tak kumengerti.
Ruang untuk sarapan di buat lumayan bisa menampung sekitar 20an orang. Bersih, sejuk dan (semoga) aman.
Sore itu, hari pertama sampai, kami memang belum ingin mengeksplorasi seluruh kota. Kami hanya berencana keluar, berjalan-jalan saja dulu di sekitar hotel. Nongkrong di pinggir jalan, mencari makan, berimprovisasi melihat-lihat kemungkinan tur di agen-agen perjalanan yang banyak ‘berserak’ di sepanjang jalan dekat hotel.
Kami memasuki beberapa agen perjalanan. Yah, tujuannya apa lagi kalau bukan ingin membanding-bandingkan. Apa yang kami peroleh di agen ini. Adakah kelebihan atau kekurangan dibanding agen perjalanan itu?
Ternyata kurang-lebih sama saja. Akhirnya kami putuskan memesan tiket tur di agen perjalanan yg paling dekat dengan hotel.
Besok kami akan ikut ‘One day Ho Chi Minh tour”. Kami akan mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Ho Chi Minh yg dulu bernama Saigon.
Setelah lelah berkeliling, kami lalu mengisi perut dengan makanan khas orang Viet Nam, yaitu Pho. Bihun, mie putih atau kwe tiauw yang diberi suiran daging ayam, toge, daun ketumbar dan dedaunan lain yang tak kukenal. Kuah kaldunya enak, gurih dan segar. Tapi kurang pedas untuk lidahku. Jika ingin pedas, mereka menyediakan cabe kering dicampur semacam minyak (wijen?).
Kayaknya hampir setiap orang, hampir setiap hari mengkonsumsi Pho. Mungkin seperti kita tak bosan-bosannya menyantap nasi.
Harganya? Aah, tadinya karena kurs atau nilai mata uang Dong lebih rendah dari rupiah, aku kira otomatis harga-harga menjadi lebih murah,…ternyata aku salah…
(Aries Tanjung)