Membayangkan bakal bete karena harus transit, aku membawa bacaan.
Yak, kami ‘terpaksa’ menunggu penerbangan ke Tan Son Nath-Saigon International Airport yang sekarang berubah jadi Ho Chi Min City, selama 4 jam di bandara Kualu Lumpur.
“Salah-satu indikasi penerbangan murah adalah transit!”, kata anak gadisku yang mentraktir perjalanan ini. Yaah, patunganlaah sama bapaknya.
Menunggu selama 4 jam, memang serba tanggung. Sebetulnya, kami bisa saja keluar bandara keluyuran di Kuala Lumpur, karena toh sesama negara di Asia Tenggara, kami tak perlu visa. Tapi, jika kami keluyuran, agak riskan rasanya. Kami takut jika keadaan lalu-lintas tak bisa diduga, maka kami akan terlambat sampai ke bandara kembali. Lagi pula, kami sudah pernah ke Kuala Lumpur, beberapa tahun lalu,…cieee. Waktu itu aku belum mendongeng soal keluyuran itu, maklum waktu itu kalau tak salah, belum ada jema’ah facebookiah. Lagi pula jika aku menulis di media cetak, hehe…media mana pula yang akan menerbitkan.
Eh, aku mau cerita sekelebat tentang Kuala Lumpur, boleh ya?
Kotanya canggih. Tak terlalu hiruk-pikuk dan tak telalu padat untuk ukuran kota-kota di Asia, apalagi sebagai Ibukota. Kami bisa jalan-jalan dengan santai (benar-benar jalan, karena kami berjalan kaki) dari hotel kami di seputar Bukit Bintang ke taman asri, luas dan nyaman di dekat bangunan kebanggaan Malaysia, yaitu menara kembar Petronas.
Aku sempat ngobrol dgn seorang bapak yang terlebih dulu menegurku. Kami langsung nyambung karena si bapak ternyata pengagum berat: mendiang Nurcholis Majid yang juga aku kagumi.
Aku bilang bahwa kami ingin berkunjung ke Genting Highland. “Haa?,…nak berjudi?!”
“Ooh, bukan pak, bukaan. Kami mau mengajak anak-anak ke tempat hiburan. Bukankan di sana ada tempat permainan dan hiburan untuk anak-anak?”
Si bapak tertawa,…lalu lanjutnya:…”Yaah,…tempat permainan anak-anak dan ibu atau pengasuhnya itu cuma (dieja cume) hiasan sajeee,…sementara menunggu ayahnya berjudiii, anak-anaknya bermain-maiiin,…hehehe…”
Bacaan yang aku bawa adalah buku karangan Mula Harahap, berjudul “Ompung Odong Odong”. Buku itu kocak. Catatan ringan bang Mula, tentang apa saja yang terjadi disekitarnya, dirasakan dan dialaminya. Buku itu adalah catatan ‘blanyongan’ yang ditulisnya di facebook. Lalu ketika si Abang berpulang, orang-orang dekat yang mengenalnya berinisiatif mengumpulkan, lalu menerbitkannya dalam bentuk buku.
Kami akhirnya memutuskan untuk tengak-tenguk saja menunggu di bandara KL. Kami mencari makanan. “Harus jeli mencari-cari makanan yang kira-kira pas dgn ringgit yang kita bawa”, kataku mengingatkan.
Kami memesan 3 menu. Si sulung memesan mie rebus ditambah irisan daging sapi dan sayuran mirip daun sawi. Si bungsu memesan nasi ayam goreng belado. Istriku memesan nasi lemak (nasi uduk) komplet, biasanya dengan lauk ayam goreng, sepotong telur ayam rebus, bihun, secomot ikan teri dan sambal.
“Ayah, pesan apa?” tanya si bungsu
“Sudaah,…pesan saja 3 dulu,…nanti ayah minta secomot-secomot dari kalian. Orang sini kalok makan porsinya besoaar. Coba saja”.
Beberapa menit kemudian, pesanan kami datang. Benar saja, porsinya besar. Kami meminjam sebuah mangkok kosong. Ternyata comot sana-sini, makanku boleh jadi malah lebih banyak. Malah di akhir makan siang itu, makanan yang kami pesan masih tersisa. Si Sulung tak mampu menghabiskan mie rebus dengan wadah mankok besar yang sebetulnya cukup enak. Eeh,…perutku juga yang akhirnya menjadi ‘penampung’, haha…
Selesai makan, kami kembali ke Gate, dekat pintu menuju ke ‘belalai’ pesawat. Gate tempat menunggu yang tadi melompong, tau-tau sudah penuh orang. Sepasang turis bule, tergopoh menawarkanku kursi yang tadi ditempatinya karena melihat aku di kursi roda. Terimakasih banyak, kataku. Tapi anda duduk saja. Saya nyaman-nyaman saja kok di kursi roda saya ini. Istri dan anak-anak saya juga sudah duduk sejak tadi. Lagi pula, beberapa menit lagi juga pesawat akan berangkat, kataku berbasa-basi.
Aku melanjutkan membaca catatan-catatan kocak bang Mula. Benar saja, baru beberapa halaman, tak lama berselang, pintu dibuka. Orang-orang mulai bergerak. Istriku mendorong kursi yang aku duduki.
Melihat keadaanku, crew pesawat (pramugara?), tergopoh-gopoh ikut mendorong, meminta dengan halus untuk memberi jalan kepada kursi rodaku, yang diikuti istri dan dua anak gadisku.
Anak gadisku berbisik. “Pssst ayah,…asyik juga ya,…karena ayah di kursi roda jadi kita selalu didahulukan, gak ikutan antre seperti orang-orang. Tapi aah,…aku sih lebih suka jika kita ikut antre bersama orang-orang,…itu artinya ayah sembuh dan segera bisa berjalan normal!”
“Amiiin!” kataku,…tak mampu kusembunyikan tetesan airmata haru atas harapan anakku…
Nah Viet Nam,…kau terima atau tidak, kau sambut atau tidak.. tidak, bersiaplah,…kami segera datang!
Aries Tanjung