Awal mula saya diajak memulung buah-buahan oleh istri, saya bengong. Saya tidak percaya. Memulung? Terbayang dalam pikiran saya, tempat yang becek, kotor, jijik, dan berbau!
Sekali lagi saya mengamati istri yang tengah memandang saya dengan senyum menggoda. Saya menjadi penasaran. Saya teringat pengalaman seorang pelanggan yang memiliki peternakan babi di Cisauk, Tangerang.
Setiap pagi, jika tidak hujan, pak H memulung sayur-sayuran di pasar tradisional. Ia menyopir sendiri mobil bak terbuka, dan mengisi beberapa keranjang besar dari anyaman bambu atau karung dengan sayur-sayuran afkiran. Sesekali ia mampir ke toko untuk membeli plastik, karena ia juga memproduksi kerupuk Bangka.
Menurut pak H, babi sangat suka makan rajangan sayur-sayuran dan dedak, sehingga gemuk-gemuk dan sehat.
Sebelum berangkat memulung, istri menggoda saya agar memakai topi dan masker supaya tidak dikenali tetangga.
“Untuk apa malu? Kan keren, nama suami istri jadi trending di tingkat RT,” ledek saya. Memulung untuk kebaikan tidak membuat saya malu atau gengsi. Yang penting, saya tidak mencuri atau melakukan perbuatan tercela.
Di mulut gang menuju tempat pembuangan buah-buahan, seorang aktivis eco-enzym, mas Fajar telah menunggu. Kami lalu mengikutinya.
Ternyata tempat pembuangan buah-buahan itu tidak seperti yang saya bayangkan. Tempatnya jauh dari becek, kotor, atau kumuh. Buah-buahan afkiran itu ditaruh di keranjang, box kayu, dan rapi. Buah itu boleh diambil asal tidak diberantakan.
Kami memilih dan memilah buah-buahan. Menurut saya, ada banyak buah yang cukup layak dimakan, karena layu, tapi tidak busuk. Bahkan ada pula yang diraping plastik dan buahnya masih bagus.
Sopir pulang membawa 3 karung plastik buah-buahan, sementara saya dan istri naik motor ke rumah mas Fajar untuk belajar lebih banyak tentang eco-enzym.
Rumah mas Fajar terletak di pojok gang buntu. Rumahnya tertata rapi dan bersih. Yang menarik bagi saya bukan berapa drum eco-enzym yang siap dipanen, tapi semangat berbaginya yang menjadi makna dan simbol eco-enzym itu sendiri.
Dari mas Fajar, saya belajar banyak semangat berbagi. Ia menekuni eco-enzym sejak 2 tahun lalu, ketika terkena phk gegara pandemi. Dengan eco-enzym pula ia tetap eksis memenuhi kebutuhan keluarga. Ia memasarkan produknya secara online. Ia juga tak segan menemani memulung di pasar dan berbagi ilmu tentang eco-enzym pada siapapun dengan senang hati.
“Ibarat buah-buahan yang kita pulung. Jika mau jahat, buah tadi bisa dijual, karena orang lain tidak tahu. Apakah kita tega, punya hati nurani untuk menjual, dan menghidupi keluarga dari sampah? Bukan hanya berdosa, jika yang jelek menimpa keluarga, bagaimana perasaan kita? Saya percaya, rejeki itu selalu mendatangi orang yang ringan tangan dan rajin.”
Sekali bertemu dengan mas Fajar, saya merasa cocok dan akrab. Bagai teman lama yang baru bertemu. Perbincangan mengalir tiada putusnya, saling mengisi dan memberi.
Eco-enzym dipanen setiap tiga bulan secara fermentasi, dan mempunyai multi manfaat.
Di rumah, istri membiasakan pada kami untuk menggunakan eco-enzym untuk mencuci baju, ngepel lantai, nyuci piring, dan sebagainya. Selain tidak berbusa, hasilnya jauh lebih bersih alami. Bahkan mampu membersihkan alat dapur yang berminyak dan berlemak!
Saya juga pernah mencoba untuk mengobati luka pada anjing dengan menyemprotkan eco-enzym dicampur air, atau anjing yang belekan matanya karena usia tua … dan sembuh. Tapi hal ini perlu uji klinis lebih mendalam dan berkelanjutan.
Dengan belajar eco-enzym dan mendalaminya, saya diajak untuk kembali kepada alam. Menggunakan bahan-bahan alami untuk merawat bumi. Ibaratnya, sifat alam yang mengajari kita untuk bersikap polos, jujur, dan apa adanya. Dengan hidup untuk memberi, kita kembali kepada jatidiri. (MR)