Bahasa Inggris adalah bahasa ke-3. Hlo, bukannya ke-2. Begini,…bahasa pertama ‘kan bahasa ibu. Itu bisa berarti bahasa keluarga, bahasa tempat kita dilahirkan di daerah mana saja. Bahasa ke-2 adalah bahasa Indonesia. Nah, bahasa ke-3 barulah bahasa Inggris. Yaa,…memang ada juga sih yg bahasa ke-3-nya: Arab, Belanda, Jerman atau yg lagi ngetrend sekarang: Bahasa Mandarin. Eh, malah ada teman yg kuliah di jurusan bahasa Rusia?. “Yak bepho (betul)!” kata sang teman. Perlukah bahasa itu bagi kita? Untuk pengetahuan tentu saja perlu. Tapi untuk mencari pekerjaan? Entahlah. Kata sang teman sih, dulu dia mengambil jurusan itu supaya bisa masuk Universitas negri. “Pesaingnya sedikit. Berbeda dgn jurusan bahasa-bahasa favorit yg persaingannya sangat ketat. Sehingga kesempatan untuk bisa diterima sangat kecil. Persaingan sangat ketat pertama adalah bahasa Inggris. Lalu Mandarin, Jerman, Arab, Belanda,…dst”
Wah,…berarti aku boleh bangga dong. Anak bungsuku lulusan FIB (Fakultas Ilmu Budaya), jurusan Sastra Inggris di Universitas negri. Undangan pulak, gak pake tes. Sekarang dia mengajar secara on-line. Murid-muridnya beragam. Dari anak-anak sampai pengusaha muda di pelosok negri ini.
Kenapa bahasa Inggris paling banyak dipakai di pelosok-pelosok bumi? Yaah, dugaan gampanganku sih karena dulu, bangsa Inggrislah yg paling banyak negri jajahannya. Untuk menghaluskan disebutlah dominion bukan jajahan. Sekarang ini, penjajahan fisik sudah tak ada. Tapi kita tetap dijajah tanpa kita sadari, lewat film-film atau apa pun yg kita lihat di tv setiap hari. Film Hollywood salah-satunya. Tapi, dijajah atau tidak, kita merasa atau tidak,…hla kenyataannya kita semua…sdh terlanjur (kem)Inggris.
Anak-anak muda Jaksel konon punya gaya (kem)Inggris tersendiri ketika bercas-cis-cus di antara mereka. Adakah bahasa Inggris mereka lebih baik drpd daerah lain? Oh, bukan,…bukan lebih baik atau lebih buruk. Itu tak ada hubungannya sama sekali. Mereka cuma gemar menyisipkan kata-kata bahasa Inggris saat mereka ‘chit-chat’, fesbookan, tweeteran, WA-an atau instagraman.
Tempohari, di medsos viral seorang artis diwawancara oleh artis lain. Yg ramai dibahas dan menjadi viral, bukanlah tema atau isi wawancara. Karena memang gak penting dan gak jelas juga kompetensi sang artis dgn tema yg dibicarakan. Yg ramai malah ini: Dalam menjawab pertanyaan, hampir di setiap kalimat, selalu ada kata bahasa Inggris terselip, di antara bahasa Indonesia. Tepat atau tidak, nampaknya bukan masalah, atau tak diketahuinya. Kata wicis (which is) sering sekali terdengar. Kata which is itu disisipkannya di sembarang tempat atau di tempat yg tak perlu.
Wich is, secara harafiah bisa diartikan: ‘yg mana’. Padahal kata ‘yg mana’ banyak dipakai secara salah kaprah, atau malah tak digunakan lagi karena kata itu kerap digunakan secara tak tepat dan tak perlu oleh ‘pejabat jaman dulu’ ketika berpidato. Misalnya: “Bapak gubernur kita orang yg cerdas. Yang mana beliau adalah lulusan sekolah A”. Atau: “Aku dulu berangkat berjalan kaki ke sekolah. Yg mana sekolah itu dekat dgn rumahku”.
Ini bbrp contoh kalimat bhs Inggris:
-I will read a book which you write.
-She cooks a food which we eat for lunch.
Ini bbrp contoh gaya anak Jaksel dgn wicis-nya:
-Gw seneng banget nongkrong di resto itu. Wich is tempatnya cozy gaes.
-Meski gw sdh gak kerja di sana, tapi masih suka dateng. Wich is (malah kadang ditambah: secara) temen-temen gw banyak di gedung itu.
-Eh, kemaren gw ketemu mantan di sebuah cafe. Wich is tempat nongkrong gw juga.
Tema pembicaraan atau apa yg dibicarakan, gak penting-penting banget cuy. Yg penting wicis,…faham?!…
“Emang bahan pembicaraannya apa?”/ “Kepo”/ “Ooh,…tentang pisang. Berapa sekarang harganya, satu sisir. Enak tuh digoreng. Apalagi yg kuning. Dikukus, ditaburi kelapa parut muda,…wuiiih”/ “Bukaaan,…kepo itu adalah…”/ “…Tenggang rasa?”…