Ruas jalan dan jumlah kendaraan tidak sebanding dengan jumlah kendaraan yang melintasinya, membuat arus lalu lintas tersendat, bahkan macet parah setiap harinya. foto ist.
HARGA bahan bakar minyak (BBM) dan kenaikkannya bukanlah faktor penentu orang membeli kendaraan. Setiap orang yang tinggal di kota kecil maupun besar, bahkan di desa terpencil, terobsesi memiliki kendaraan sendiri – apakah roda dua atau empat. Atau lebih (bus dan truk) sesuai bidang usahanya.
Tapi harga BBM tidak menjadi pertimbangannya. Dengan kesadaran sepenuh pemilik kendaraan memaklumi, kendaraan memang harus diisi BBM, sebagaimana ayam, kambing dan sapi harus diberi makan. Juga anak anak bagi suami isteri yang telah memutuskan untuk punya keturunan dan penerus keluarga.
Di kota bahkan biaya perawatan kucing dan anjing orang berada, sebagai binatang kesayangan, lebih mahal ketimbang membiayai anak di kampung.
Mereka yang melewati masa kanak-kanak di desa pada era 1970-an, mengalami remaja dan masa muda di Jakarta pada dekade 1980-90an, menyaksikan jalanan dipenuhi kendaraan miring, aus, doyok, lapuk dan berusia 10 tahun ke atas. Kendaraan antik lalu lalang. Khas negara menengah miskin.
Tapi lihatlah kini, jalan raya disesaki dengan kendaraan baru, menengah dan mewah, juga motor ruda dua, yang canggih. Pada jam jam sibuk, pada jalan raya dan jalan toll mengalami macet. Ruas jalan dan jumlah kendaraan tidak sebanding dengan jumlah kendaraan yang melintasinya, membuat arus lalu lintas tersendat, bahkan macet parah.
KARENA ITU, protes kenaikkan harga BBM makin tidak relevan. Kenaikkan harga BBM dikeluhkan memberatkan, tapi jumlah kendaraan baru terus melimpah. Bertambah. Ada pembeli dan pemiliknya.
Data yang saya peroleh mengungkap, harga bensin pernah dipatok Rp.150 per liter di awal 1980an, dan kini menjadi Rp.7.650. Menjadi barang kebutuhan, kendaraan bukan lagi barang mewah bagi sebagian rakyat kita. Pekerja yang berjejal jejal di bus dan KRL terobsesi punya kendaraan sendiri.
Di masa lalu kenaikkan harga BBM bensin dan solar selalu menimbulkan berita besar dan protes meluas, tapi kini tidak lagi. Karena rakyat makin sadar, juga wakilnya di DPR dan DPRD. Meski, kenaikkan harga BBM menjadi politis dan kendaraan politis bagi partai anti pemerintah.
November 2014 lalu Dewan Perwakilan Rakyat mengajukan menyatakan siap mengajukan interpelasi kepada Presiden Joko Widodo atas kebijakannya menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi, namun ditanggapi pemerintah dengan tenang. Menteri Kabinet Kerja berkukuh kebijakan tersebut tepat guna menyetop pemborosan anggaran dan mengungkit pembangunan.
Data juga menunjukkan, Presiden SBY paling banyak menghamburkan subsidi BBM dalam 10 tahun pemerintahannya. Terpilih langsung oleh rakyat, SBY membakar duit negara Rp 1.300 triliun atau tepatnya Rp 1.297,8 triliun sepanjang 2004-2014 atau rata-rata Rp 129,7 triliun setiap tahun.
Presiden sebelumnya, Megawati Soekarnoputri, membakar subsidi BBM hingga Rp 198,6 triliun selama tiga tahun memerintah atau Rp 66,2 triliun setiap tahun.
Menurut catatan CNBC Indonesia, hanya Presiden Soekarno dan Presiden BJ Habibie yang tidak menaikkan harga, bahkan saat pemerintahan Habibie harga Premium pernah turun satu kali.
Diketahui kemudian dan dievaluasi kini, subsidi BBM tidak tepat sasaran. Di SPBU, BBM bersubsidi dikonsumsi pemilik mobil menengah dan mewah. Sopir atau juragan bermental mistin tak malu antre di jalur BBM rakyat jelata. Banyak orang kaya, terutama orang kaya baru, yang memang bermental miskin.
Pemerintah telah mengalokasikan anggaran tahun ini untuk subsidi Solar sebesar Rp 149 triliun dan Pertalite sebesar Rp 93,5 triliun. Sayangnya, anggaran itu tidak tepat sasaran karena banyak orang kaya yang menggunakan BBM bersubsidi.
“Subisidi ratusan triliun ini sasarannya malah kelompok yang relatif mampu, ini berarti kita mungkin akan menciptakan kesenjangan yang semakin lebar dengan subsidi ini, karena yang mampu menikmati subsidi ratusan triliun, sedangkan yang tidak mampu tidak (sepenuhnya) menikmati,” ujarnya dalam konferensi pers di Kantor Kemenkeu, Jumat (26/8/2022).
Kuota Pertalite yang telah ditetapkan pemerintah di tahun ini sebanyak Rp 23,05 juta KL dengan nilai mencapai Rp 93,5 triliun. Nilai kompensasi Pertalite itu ternyata 80 persen di antaranya dinikmati oleh rumah tangga mampu atau orang kaya. Padahal pemerintah setidaknya harus menanggung selisih biaya Rp 6.800 untuk setiap liter Pertalite.
Lantaran, harga jual Pertalite saat ini hanya sebesar Rp 7.650 per liter, sedangkan harga keekonomiannya yakni sebesar Rp 14.450 per liter. “Jadi hampir Rp 60 triliun sendiri dari Rp 93 triliun tadi, dinikmati masyarakat mampu bahkan sangat kaya. Sedangkan masyarakat miskin dia hanya mengonsumsi 20 persennya saja,” kata Sri Mulyani.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, konsumsi BBM bersubsidi jenis Solar dan Pertalite yang tidak tepat sasaran itu, pada akhirnya akan membuat kesenjangan ekonomi antara orang kaya dan orang miskin semakin melebar.
Oleh sebab itu, ia menekankan, diperlukan berbagai kebijakan untuk bisa menjaga kesehatan APBN dan mendorong subsidi yang tepat sasaran. Terlebih ketidakpastian global diperkirakan masih berlanjut di tahun depan, sehingga perlu untuk menjaga APBN dalam menjalan fungsinya sebagai shock absorber.
“Semua perlu gotong royong, kelompok masyarakat yang relatif mampu mungkin bisa kontribusi lebih baik dan banyak dibandingkan masyarakat yang tidak mampu yang seharusnya dilindungi dengan berbagai instrumen dari mulai bansos hingga subsidi yang tepat sasaran,” begitu katanya.
Saatnya pengendara yang mendapat subsidi BBM meneriaki orang orang kaya yang pakai mobil mewah tapi antre di jalur BBM bersubsidi. ***