Seide.id – Ingat, yang nakal bukan cuma anak, orangtua juga. Belum tentu salah anak kalau anak jadi nakal, rendah diri, pembangkang, menyimpang, dan kriminal.
Mereka sosok yang dicetak oleh yang membesarkannya. Prinsip “tabula rasa“, ibarat selembar kertas putih ketika dilahirkan, orang yang membesarkannya yang menuliskan dan menggambarnya di situ akan tercetak anak yang seperti apa. Anak menjadi serupa apa yang orang yang membesarkannya lakukan. Anak menjadi apa yang orang yang membesarnya lakukan, bukan yang dikatakannya.
Itu maka peran orang yang membesarkan begitu penting. Melihat banyak orang yang membesarkan anak, dalam hal ini orangtua, yang hanya mengandalkan naluri keibuan belaka (nature), bukan ilmu membesarkan yang sehat (nurture), saya prihatin. Kondisi itu yang menginspirasi saya membuat modul “Sekolah Menjadi Ibu” tahun 2000-an dulu.
Inspirasi yang saya dapatkan dari melihat kondisi rata-rata ibu di Indonesia yang sebagian besar tidak siap membesarkan anak. Bahkan sekelas ibu sarjana pun (Kesan dari mengasuh rubrik kesehatan Web Aku dan Kau Nestle). Padahal peran ibu amat strategis, baik bagi tumbuh-kembang agar anak normal sehat, termasuk bagaimana secara psikologis ibu tidak membuat anak berkembang abnormal menyimpang, tau menyimpan trauma, dan karakternya tidak terpuji.
Bukan salah anak kalau kelak mereka menjadi anak yang asosial, disosial, bukan tak mungkin menjadi anak yang berdeviasi seksual juga. Eksibisionisme yang muncul akhir-akhir ini, KDRT, sikap sadistis-masochisme, bukan tak mungkin karena kecilnya dikerasi. Trauma semasa toilet-training, menghukum anak sewaktu mengompol. Seks menyimpang bisa sebab gangguan perkembang psikoseksual selama balita.
Kalau negara kebanyakan diisi oleh generasi yang banyak mengidap penyimpangan lantaran keliru, salah, tidak tepat membesarkannya, betapa akan kurang berkualitasnya sebuah generasi. Bukan mustahil menjadi beban negara. Narkoba, kasus kriminal, tawuran, susah diurus, pembangkangan, suka nyinyir, harus dipikirkan hampir pasti kesalahan bukan semata di tangan anak. Bisa jadi sebab kesalahan, kelalaian, kealpaan orangtua.
Mungkin memang karena tidak sengaja. Seburuk-buruk orangtua, pasti menyayangi anak. Tapi cara menyayanginya tidak tepat. Mungkin cara mengasuhnya tidak benar di mata psikologi. Mungkin cara memperlakukannya tidak tepat secara keilmuan, sehingga tanpa disadari anak berkembang abnormal.
Sikap mengancam kepada anak, tak sadar kalau itu mencederai jiwa anak. Bahkan sekadar membentak terhadap saja pun otak anak akan tercederai. Sikap kasar terhadap anak, kelak anak menjadi anak yang sadis juga kepada orang lain. Sikap hanya mencela dan tidak memuji sebagaimana halnya pendidikan kita lazimnya, bikin anak rendah diri. Semua dilakukan tentu bukan dengan sengaja, melainkan karena orangtua, orang yang membesarkan anak, tidak tahu cara yang benar mengasuh, mengasihi, dan mengasah anak.
Itu karena tidak semua ibu, orang terdidik. Keprihatinan saya yang mendorong saya keliling roadshow seminar sudah lebih 11 kota untuk memberikan semiloka (seminar loka karya) “Sekolah Menjadi Ibu” guna memperkaya peran ibu agar menyehatkan anak sejak masih di kandungan, bahkan cara tepat memilih pasangan hidup agar melahirkan anak unggul, memelihara kehamilan, persalinan sehat, serta sehat pula membesarkan anak. Itu saya lakukan tahun 2000-an. Sebagian saya rutin lakukan juga bagi calon pengantin di di sejumlah gereja dalam dan luar kota.
Kalau banyak orangtua yang membesarkan tidak melakukan perannya membesarkan anak yang sehat kelak, bisa dibayangkan akan seperti apa generasi yang akan menjadi. Ini beban bagi pemerintah dan negara, dan aib bagi bangsa.
Kelak akan begitu banyak anak yang setelah dewasa menyulitkan bukan saja orangtua, melainkan juga pemerintah, negara, karena tindakan-tindakan yang tak terpuji. Mereka berkembang, tanpa disadari telah menyimpang akibat salah asuh, salah asih, salah asah.
Anak tidak normal juga didukung akibat keadaan, melihat ada polisi nakal, hakim nakal, guru nakal, pejabat nakal, selain orangtua nakal. Itu semua bertumbuh sebagaimana kita menyaksikan sudah sekian lama terjadi kekacauan etika.
Anak tidak tahu lagi membedakan benar dan salah, baik dan jahat, karena semua sudah menjadi paradoks. Misal, remaja yang seks di mobil ketika ditanya apa kalian tahu kesalahan kamu, jawabnya karena kami melakukannya di kursi depan, bukan di kursi belakang. Berarti dalam pandangannya bahwa seks boleh (permisif) asal betul tempatnya. Atau kampanye kondom, seks direstui asal pakai kondom. Nilai-nilai dan norma sosial sudah dijungkir balik oleh keadaan.
Jadi kalau ada anak yang pendendam, barangkali karena waktu kecil salah diasuh, dengan kekerasan. Saya pernah menulis ihwal “Bangsa yang Hostil” di Kompas, dan kilpingnya dimuat dalam buku “KOCAKNYA BANGSA KITA”, melihat menjamurnya ujaran ungkapan kebencian di masyarakat kita.
Sudah bisa diduga akan seperti itu nasib anak-anak kita, sebagian besar anak kita yang dicetak oeh keluarga yang tidak menguasai kelimuan dalam membesarkan anak menjadi insan yang sehat. Anak yang dalam cetakan tabula rasa yang normal.
Seorang ahli pendidikan dunia yang populer ungkapannya, Doroty Nolte PhD, bagaimana anak dibesarkan, yang akan begitu anak menjadi kelak, sebagaimana kita baca dalam lampiran postingan ini. Kita perlu belajar dari situ.
Tawaran saya untuk pemerintah, modul semiloka saya “Sekolah Menjadi Ibu” yang saya tulis dalam surat pembaca Kompas, beberapa tahun lalu, yang saya rela memberikan cuma-cuma untuk kepentingan negara, tidak mendapat tanggapan dari pemerintah.
Usulan saya ini merupakan cara strategis bagaimana memberdayakan setiap ibu agar tepat membesarkan anak sehingga tidak lahir generasi yang “sakit”. Tanpa bersambut begitu, karenanya saya prihatin sampai hari ini.
Dr Handrawan Nadesul (Foto: pribadi)
Tapi apa boleh buat, saya bukan pejabat, tidak punya otoritas untuk memanfaatkan apa yang membuat saya prihatin, untuk membagikan semua agar setiap ibu melakukan perannya sebagai orang yang tepat membesarkan anak-anaknya menjadi anak yang sehat, tanpa trauma, atau anak yang perkembangannya menyimpang.
Kita sadar betul bahwa di balik anak yang sukses ada ibu yang hebat. Di balik suami yang sukses, juga ada istri yang hebat.
Salam generasi sehat,
Dr Handrawan Nadesul