KITA PUNYA KENANGAN buruk tentang sosok presiden yang diturunkan di tengah jalan. Dikeluarkan paksa dari Istana Negara. Dan kita tak mau terulang lagi. .
Tanda tanda itu nampak nyata sekarang dan para aktornya kurang lebihnya sama. Maka kita harus mencegahnya.
Untuk itu mari kita menengok ke belakang…
Pada Minggu, 23 Juli 2001 – dua puluh (20) tahun lalu – secara resmi MPR memakzulkan Presiden Abdurrahman Wahid dan menggantikannya dengan Megawati Soekarnoputri.
Kelompok Poros Tengah, yang dimotori Amin Rais yang sebelumnya menjegal Megawati yang menang Pemilu 1999, justru mengangkat Gus Dur. Tapi kemudian menurunkannya lagi dan memberikan kepada Megawati lagi. Pemakzulan Gus Dur didukung politisi Senayan, khususnya partai Golkar, dibantu TNI dan Polri.
Wahyu Muryadi, jurnalis senior yang dipercayai menjadi Kepala Biro Protokol Istana Kepresidenan pada 1999 – 2081 menyatakan, ada empat kekuatan yang saling bekerja sama untuk menurunkan Gus Dur dari jabatan presiden.
Pertama, kelompok yang kecewa karena kalah dalam pemilihan presiden.
Kedua, sisa-sisa Orde Baru yang masih berkuasa.
Ketiga, Poros Tengah yang tadinya menjadi sekutu Gus Dur menjadi presiden versus Megawati.
Keempat, TNI yang tidak senang dengan supremasi sipil, dan pemisahan dengan Polri yang diputuskan pada masa Presiden Wahid.
Peletup tambahannya, pemecatan Jenderal Bimantoro sebagai Kapolri dan menggantikannya dengan Jenderal Chairuddin Ismail, tanpa persetujuan DPR.
“Sejak saat itu polisi terbelah sikapnya, ” tulisnya, dalam epilog buku Menjerat Gus Dur (terbitan Desember 2019) lalu.
TNI bahkan menurunkan 40 ribuan tentara di Jakarta. Pasukan disiagakan dengan mengarahkan tank-tank moncong menghadap Istana Merdeka sebagai bentuk kekuasaan.
Mereka berkongsi dan berperan penting dalam penjatuhan Gus Dur dengan Kabinet Persatuan Nasionalnya.
Wahyu Muryadi mengungkapkan, beberapa hari sebelum Presiden Wahid lengser, beredar kisah ada tawaran bertransaksi dengan lawan politiknya. Gus Dur ditawari berkompromi. Setiap perombakan kabinet kudu diserahkan kepada partai politik.
Ada juga, tertulis dalam buku karya Virdika Rizky Utama itu, desakan dari kelompok tertentu agar Gus Dur menerapkan Syariat Islam supaya kaum Islam membelanya.
Gus Dur menolak seraya menggebrak meja-dan mengatakan lebih baik jatuh daripada melakukan politik transaksional semacam itu. Beberapa kalangan yang dulu turut menaikkannya, berubah haluan.
Sikap konfrontatif Gus Dur ini menimbulkan kemarahan lawan politiknya. Dalam sebuah wawancara dengan Tempo (26/12/2003), Gus Dur mengatakan, “Kalau pergantian saya sih, itu memang menunjukkan rendahnya nilai para politisi kita, tokoh-tokoh partai-partai kita. Mereka sama dengan kekuatan-kekuatan anti-demokrasi. Itulah yang tidak saya duga sama.”
Jelas sekai pemakzulan Gus Dur penuh rekayasa, tipu muslihat dn dibuat buat dan aktor aktornya masih hidup sampai sekarang.
Tapi kita mengenal mereka. Sebagiannya jadi pecundang. Mungkin mereka makmur dan kaya raya – tapi tak punya kehornatan.
Lihat saja Amin Rais. Dia menjelma sebagai tokoh yang terus diolok olok. Julukan Sengkuni untuknya menggantikan Dorna di zaman menjelang kejatuhan Soekarno bagi orang istana yang suka mengadu domba.
Buku Menjerat Gus Dur juga mengugkapkan berbagai skenario para aktor untuk mengerahkan massa dan mahasiswa untuk melancarkan kerusuhan. Hal juga yang diulang ulang dalam beberapa tahun terakhir ini.
Membangun kesan Gus Dur dekat dengan Komunis dan membangkitkan paham Komunis juga pola yang diulang kini pada pemerintah Jokowi. Saat itu Gus Dur memang mewacanakan akan islah dengan korban gerakan 65. Tapi kita tahu rezim mana yang rajin jualan komunas komunis.
Mahfud MD selaku pakar Hukum Tata Negara menyebut secara yuridis pemakzulan Gus Dur tidak sah . Selain dua fraksi tidak hadir, juga sidang istimewa dipercepat menjadi 23 Juli dari rencana sebelumnya 1 Agustus 2001.
Sebelum itu, Amin Rais sudah menyebut “sebentar lagi kita punya pemimpin baru” . Pernyataan itu yang mendorong munculnya dekrit pembubaran DPR dan Partai Golkar. Tapi Gus Dur tidak memproleh dukungan dari politisi. Juga TNI dan Polri.
Presiden Abdurrahman Wahid menjadi presiden RI memerintah dalam waktu yang sangat singkat, yakni 23 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001, saat mana dia dimakzulkan.
SEJARAH berulang dan aktornya masih sama. Kelompok yang kalah dalam pemilu, rezim Orde Baru dan para aktor dan politisi petualang. Mafia asing. Kartel. Menjual isu anti Komunis juga.
Sementara itu, putri sulung Gus Dur, Alissa Wahid, menceritakan betapa mencekamnya keadaan jelang Gus Dur dilengserkan. Alissa Wahid bahkan sempat diminta Gus Dur segera meninggalkan Istana dan pulang ke Ciganjur membawa serta ibu dan adik-adik.
Info moncong panser sudah mengarah ke Istana, sudah sampai ke telinganya.
“Keadaan sudah bahaya, biar Bapak hadapi sendiri saja di Istana,” sebut Alissa Wahid menirukan apa yang dikatakan Gus Dur ketika itu.
Namun, Alissa Wahid teringat kisah Bung Karno yang mesti menghadapi hari-hari terakhirnya sebagai Presiden yang penuh keterasingan.
Alissa Wahid tidak ingin kejadian serupa harus dialami juga oleh ayahnya itu. Karenanya dia bertahan di istana mendampingi Gus Dur.
Kata Gus Dur, beliau nggak bisa tenang kalau kami tetap ada di Istana, “apalagi cucu pertama, bayi saya, baru berumur 40 hari” katanya.
Tapi kisah Bung Karno menghantuinya, “Makanya saya ngeyel, nangis tidak mau pergi,” kata Alissa Wahid.
Alissa Wahid terus membayangkan Bung Karno sendirian, keluarganya sulit menjenguk, tidak terawat dengan baik. “Saya tidak ingin itu terjadi pada Gus Dur. Kalaupun beliau kalah secara politik & harus diasingkan, kami harus tetap bersama beliau. Kami siap. That’s it. That’s all.”
Pada akhirnya, apa yang ditakutkan Alissa Wahid tidak terjadi. Rakyat membanjiri Istana, bertekad melindungi Gus Dur. “Lalu beliau umumkan akan keluar dari Istana. Besoknya, ribuan rakyat menjemput & mengawal beliau keluar lewat gerbang depan Istana, menuju panggung rakyat di Monas. Kalah politik, tetap bermartabat,” kata Alissa.
Sampai hari ini Gus Dur tetap dipuja. Dalam masa pemerintahannya yang singkat, dia menorehkan tinta emas. Dia menghidupkan kembali perayaan Imlek yang dilarang sejak 1967, mengakui Kong Hu Chu sebagai agama, menanamkan Wawasan Kebangaan di kalangan NU, menyebarkan Islam ramah dan pluralisme. Menaikkan gaji PNS 100 persen.
Bagi sebagian warga NU menganggapnya sebagai Wali, kaum Tionghoa memuliakannya sebagai Bapak Pelindung. Tokoh tokoh nasional dan non muslim menempatkkannya sebagai sosok pluralis.
Sedangkan seniman dan budayawan menyukainya karena nyentrik dan humoris. Makamnya di Komplek Pesantren Tebu Ireng Jombang, tak henti-henti didatangi peziarah, hingga kini. Dimuliakan.
Sedangkan para politisi yang memakzulkannya kehilangan martabat. Menjadi Sengkuni – tokoh dunia pewayangan dikenal licik dan penjilat. Dan perannya tetap seperti itu. Sampai sekarang. Terus mengupayakan menurunkan presiden di tengah jalan. **