Kenangan Tentang Tzu

Itu pertemuan kedua yang kuingat Tzu, hanya sekejap. Namun aku tahu ada perih yang menerpa dinding hatimu tatkala jabat erat tangan kita menyatu. Kilatan cahaya sekelebat membayang di matamu, dan di situ ada kisah yang hendak kau tuturkan padaku. Suaramu tercekat, gerimis senja yang membasahi rambut hitammu, membuat tatapanku semakin lekat, ah kau masih tetap sama, cantik di dalam kebersahajaan dan usia tuamu.

Tzu, kota tua yang pernah kita tinggali kini tak begitu meninggalkan kesan, sudut-sudut taman tempat kita berbincang, sudah tak lagi sama. Tetumbuhan yang dulu rimbun kini dipangkas untuk berdirinya sebuah patung sosok pahlawan dengan nama dan pangkat yang sangat lengkap di bawahnya. Di situ kau pernah menangis di sisiku, bercerita tentang orang-orang yang menghina dan menyakitimu. Katamu, “Apa yang mereka ceritakan memang benar adanya. Namun kebenaran akankah selalu menyakitkan? Aku berusaha untuk jujur, berkisah tentang hidup dan kehidupan itu sendiri. Akan tetapi haruskah kejujuran itu dibayar dengan cemoh yang sangat menyakitkan?”

Kukenang wajah tirusmu, jemarimu yang kurus dan gurat-gurat uratnya yang membiru. Selalu tak ada kebahagiaan terpancar di situ, murung dan gelap menjadi lukisan samar menghiasi tiap senti wajahmu. Tzu, jika saja bisa kutorehkan rona merah muda di ke dua pipimu, sepertinya kau akan tampil berbeda. Aku menunggu itu terjadi termasuk ketika kau tersenyum mengabarkan sedikit kebahagiaan yang kau peroleh. “Aku mentraktirmu makan, cerpenku dimuat di harian bergengsi di kota ini. Hari ini honornya kuterima, maukah?”

Ah, ajakan itu membuat hatiku membuncah. Bukan karena kau berbaik hati hendak mentraktirku Tzu, tapi aku bangga karena kau telah bermetamorfosis menjadi penulis cerita seperti yang kau inginkan. Tzu, kota tua tempat kita besar bersama mulai gersang diterjang oleh manusia-manusia urban yang gelisah. Ketika aku menginjaknya, hanya satu yang kutanyakan, “Tzu di manakah kau kini?” itulah tanya yang tak pernah terjawabkan. Di sudut kedai kopi kecil tempat aku mengenang kembali tentangmu, kebisuan selalu mencekam. Kota itu senyap, embun dingin yang merayapinya bagai lukisan kusam dengan warna abu-abu bercampur coklat tua. Manusia-manusia lama mengintai waktu dan menunggu senja merambat diam-diam. Tzu rinduku padamu tiba-tiba menggelegak, meski rinai hujan telah mewarnai cuaca yang kelabu hingga menjadi dadu, aku hampir terkapar oleh rindu tentangmu. Kutunggu kau dalam imajinasi rinduku, meski hanya setetes harap, aku selalu memimpikan tiba-tiba kau muncul bersama desah nafas rindu yang kuhembuskan. Tzu…

Jika saja kau ingat larik puisi yang kucipta, yang berbunyi demikian : engkau adalah gelombang rindu yang menelisik ke dalam pori-poriku, engkau adalah cerita masa lalu yang pernah terjadi meski itu samar sekali pun, engkau adalah mimpi terindah yang terbentang panjang melalui buih-buih ombak karangku…

Tzu, kisah tentang kita masih terus terangkai melalui tapak-tapak samar dari jalanan berdebu yang pernah kita lalui. Kota tua itu tetap membisu, ia masih menyimpan kepedihan yang menyayat, kota itu tempat kita besar bersama, tempat kita mengukir janji, tempat kita melarung cita-cita, tempat aku mengecup jasad kakumu tatkala penyakit laknat, leukemuia itu memakan seluruh jaringan selmu. Oh Tzu, mengenang itu aku meradang. Kisah tentang penyakit itu kau simpan rapat-rapat, kau samarkan semuanya agar hatiku tak terluka dan kau bekukan dalam buku usang yang tak pernah kau berikan padaku. Tzu, aku memandang wajah pucatmu, mengecup bibir birumu, lalu meneteskan air mata di pipimu. Hanya itu yang bisa kulakukan. ya hanya itu…

(Fanny Jonathan Poyk)

Pesan Terakhir

Avatar photo

About Fanny J. Poyk

Nama Lengkap Fanny Jonathan Poyk. Lahir di Bima, lulusan IISP Jakarta jurusan Jurnalis, Jurnalis di Fanasi, Penulis cerita anak-anak, remaja dan dewasa sejak 1977. Cerpennya dimuat di berbagai media massa di ASEAN serta memberi pelatihan menulis