Namanya Aron Ralston.
Dia seperti anak-anak lelakii pada umumnya. Tinggal tak jauh dari pegunungam Blue John di negara bagian Utah, membuatnya keranjingan dan tergila-gila kepada gunung, tebing, dan bukit-bukit. Kadang sendirian, dengan sepeda, tanpa persiapan, begitu saja dia menggeletakkan sepada gunungnya di semak-semak untuk kemudian menjajal beberapa bukit.
Aron bercita-cita menjadi sarjana teknik mesin. Tetapi nasib membawanya sebagai penulis buku, pembicara yang laku dengan jadwal yang sangat padat dan motivator yang selalu dirubung pemuda karena buku yang ditulisnya. Buku itu telah menjadi buku ‘best seller’. Buku itu bercerita tentang: Kekuatan mental, kesabaran, ketabahan hati dan keyakinan!.
Inilah kisahnya.
26 April 2003. Suatu pagi yang cerah, Aron mendaki perbukitan yang sangat dikenalnya. Peralatan pendakian yang dibawanya standar saja. Sepeda gunung ditambatkan begitu saja di semak-semak dekat pepohonan.
Perbukitan yang dijelajahinya itu sangat disukainya karena sunyi dan hening. Untuk melukiskan keheningan tempat itu: bahkan dia bisa mendengar desah nafasnya sendiri.
Dia dikejutkan oleh suara manusia lain. Dua orang gadis! Wuih, antara heran dan kagum dan senang dengan kehadiran dua ‘gadis kota’ itu, mereka lalu berkenalan.
Aron bercerita bahwa dia akan mendaki bukit. Dia lalu menawarkan diri menjadi pemandu sambil pamer bahwa dia mengenal tempat itu seperti dia mengenal telapak tangannya sendiri.
Dua gadis itu berterimakasih dan mengatakan bahwa mereka cuma ingin tracking alias jalan-jalan saja,…mungkin lain kali.
Setelah ngobrol ngalor-ngidul tentang gunung dan bukit-bukit itu, di sebuah ‘tikungan’ mereka berpisah.
Aron melanjutkan perjalanan menuju ngarai Blue John.
Pada sebuah ceruk, dia bermaksud memotong jalan. Dia sangat mengenal tempat itu.
Di bawah celah sempit itu dia bermaksud mengisi wadah minumannya yang tinggal sedikit dengan air segar yang menetes dari mata-air yang kemudian menjadi danau kecil di dekat celah bukit itu. Tapi tak jadi. Dia hanya mereguk sampai puas, mencuci muka sekadarnya. Toh nanti dia akan lewat di danau kecil ini lagi.
Pada saat melipir di celah-celah bebatuan itulah malapetaka yang akan mengubah hidupnya itu terjadi.
Sebuah batu seberat kurang-lebih 400kg merosot, terperosok lalu meluncur ke arahnya, bersama debu dan kerikil. Dengan reflek dan insting ‘anak gunung’nya, dia dapat menghindar supaya tak tertimpa batu. Tapi celah ltu sempit. Batu itu seperti sebagian ‘menggantung’ di dua dinding cadas dan…menjepit lengannya!…
Anehnya dia hanya merasakan sakit beberapa jam saja. Setelah itu sakitnya berangsur-angsur berkurang.
Mulailah dia ‘menyadari’ kesendiriannya. Mulailah dia menyadari bahwa dirinya tak mungkin akan tertolong.
Buku setebal 517 halaman ini bercerita bagaimana Aron ‘bertualang’ dgn fikiran-fikirannya. Kenangan-kenangannya. Penyesalan-penyesalan, kenapa aku tadi bertindak begini, kenapa aku tak bertindak begitu?. Cita-citanya yang kandas.
Dalam beberapa menit, jam, setengah hari, satu hari, satu minggu, mungkinkah ada orang atau bahkan pemanjat tebing yang melalui ceruk ini?…
Dalam kesia-siaan menghabiskan waktu menuju kematian yang akan datang secara lambat tapi pasti itu, Aron memeriksa semua perbekalan yang mungkin masih memberinya harapan hidup.
Air yang tinggal sedikit di wadah yg disesalinya, kenapa dia tak mengisi penuh. Beberapa bungkus biskuit dan coklat. Senter kecil, beberapa pengait standar para pemanjat tebing dan…pisau.
Beberapa hari dia hanya betumpu pada semacam beting sempit, sebelah tangannya, memang sudah tak terasa sakit. Dia menduga mungkin syaraf lengan yang terimpit batu besar itu sudah ‘mati’.
Beberapa hari dia tak tidur. Jika pun tertidur, dia selalu terbangun karena ‘posisinya’ tentu sangat tak nyaman untuk tidur. Air di wadah minumnya habis!…
Di antara kelelahan fisik, kelelahan mental dahsyat, keputus-asaan yang hampir segera tiba, kehausan hebat dan dehidrasi,…dia masih sempat berfikir untuk meminum air kencingnya sendiri untuk survive. Dia lalu menampung air kencingnya untuk…diminum!
Maka setiap kencing dia menampung di wadah airnya,…lumayan. Meski rasanya ‘gak karuan’ tapi bisa memperpanjang hidupnya.
Dalam kesadaran yang ‘hilang-hilang-timbul’ itulah Aron mendapatkan ide brilian. Jika lenganku yang terhimpit batu itu, sudah tak terasa sakit karena syaraf-syarafnya sudah mati, kenapa tak kupotong saja?!…
Maka dia memeriksa lagi perbekalannya. Aah,…ada pisau! Ini pisau gunung biasa saja dan tak tajam. Tapi harus dicoba. Wajib dicoba.
Hari ke 6, di antara kesadaran yang ‘hilang-hilang-timbul’, kekuatan mental, sisa harapan dan hampir putus-asa,…dia mulai memotong lengannya sendiri yang terhimpit batu.
Lalu dengan darah tercecer dari bagian lengan ‘yang masih segar’ yang masih memungkinkan darah keluar, darah terus menetes. Dia terus berjalan, berjalan dan berjalan, meski terseok-seok, langkah demi langkah.
Bukit itu sepi. Jika dia kehabisan darah dalam perjalanan menuruni bukit dan tak menemukan orang yang bisa menolongnya, dia tetap akan mati. Jika berhenti, dia akan kehabisan darah dan mati.
Jika harus mati, kenapa tak di sana saja,…di ceruk itu?!…
Di suatu bukit akhirnya dilihatnya ada tiga sosok manusia di kejauhan. Dia berteriak sekuat yang dia mampu, meski suaranya terdengar sangat lemah.
Di kejauhan, sebuah keluarga kecil sedang melakukan tracking. Seorang lelaki bersama istri dan anak lelakinya yang menjelang remaja. Tuhan telah menolong Aron dgn caraNya!
Aron pun tertolong…Dia masih ‘dibutuhkan’ untuk menceritakan pengalamannya kepada dunia…
(Aries Tanjung)