Negara menghabiskan triliunan rupiah untuk mencetak polisi berkualitas, Bhayangkara Negara. Membiayai pendidikan dan pelatihan mereka, memfasilitasi kebutuhannya. Namun setelah mendapat bintang-bintang di pundaknya, sebagian dari mereka ingkar dari sumpahnya dan membacking bandar judi, backing illegal loging, illegal mining, meloloskan pelarian konglomerat nakal, dan laku menyimpang lainnya.
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
DI MASA krisis sosok kepemimpinan diuji dan teruji. Di masa krisis, pemimpin dihadapkan pada pilihan dan keputusan keputusan sulit, karena berdampak pada perubahan besar di masa kini dan masa depan, penuh resiko dan bisa memperburuk situasi – bila keliru mengambil keputusan yang benar.
Presiden RI Ir. Joko Widodo, sekali lagi, mampu menunjukkannya dengan elegant.
Foto di Istana Negara, Jumat (14/10), kemarin jelas memperlihatkan siapa yang menguasai kendali negara ini. Sebanyak 600 petinggi di kepolisian, mewakili 430 ribu anggotanya, takzim menerima arahan presiden dan kemudian sigap melaksanakannya.
Perintah tidak membawa tongkat komando, topi, dan hape dipatuhi – yang bisa saja ditafsirken “perlucutan” kewenangan dan kewibawaan para jendral dan kombes, diikuti, tanpa perlawanan. Selain Kapolri, para pejabat utama Mabes Polri, seluruh Kapolda dan Kapolres telah menghadap kepala negara.
Adanya adanya seorang Kapolda yang ikut menjual narkoba adalah krisis yang serius – khususnya di kepolisian dan penegak hukum pada umumnya.
Sebelumnya Kadiv Propam Polri – polisinya polisi – terlibat pembunuhan pada anak buahnya sendiri, di rumah dinasnya – disertai menguaknya “Konsorsium 303” yang mengikutinya. Bisnis judi off line dan online dalam kendali polisi, bukan diberantas – melainkan dibackingi dan dikelola mereka.
Negara menghabiskan triliunan rupiah untuk mencetak polisi berkualitas, Bhayangkara Negara. Membiayai pendidikan dan pelatihan mereka, memfasilitasi kebutuhannya. Namun setelah mendapat bintang-bintang di pundaknya, mereka ingkar dari sumpahnya dan membacking bandar judi, backing illegal loging, illegal mining, meloloskan pelarian konglomerat nakal, dan laku menyimpang lainnya.
Sebelum ini, Jokowi mengambil keputusan penting dalam perang Ukrania. Menemui para pemimpin dua negara yang berkonflik dan mendapat sambutan positif. Perang belum usai, tapi krisis pangan dan energi menurun dibanding sebelumnya. Kini Eropa yang bermasalah langsung dengan Russia dan Ukrania, karena memang ikut mengobarkan konflik, yang berujung perang.
Jokowi mengatasi krisis Pandemi Covid19, bagian dari kriris Global, dan memperoleh pujian dunia. Negara yang paling baik penangan Covid-nya, paling cepat mendapat vaksinnya, dan cepat mereda, meski kini harus tetap waspada.
Desember 2016 lalu, Panglima TNI dan Kapolri menyarankan agar Presiden tidak hadir di tengah masa putih di Monas. Wapres HM Jusuf Kalla terkejut, karena pada jam shalat Jumat Jokowi malah ke Monas, bukan ke masjid Baitulrahim di kompleks istana.
Berpayung berjalan penuh percaya diri, didampingi Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Menko bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, diiringi Kepala Badan Intelijen Negara Jenderal Budi Gunawan, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian, Kapolda Metro Jaya.
Dan kita tahu apa yang terjadi, demo itu padam. Upaya menurunkan presiden lewat kasus Ahok gagal. Ahok BTP memang kalah di PilGub 2017, bahkan masuk penjara. Tapi Jokowi tetap di posisinya, dan sekeluar dari Mako Brimob, Ahok memperoleh posisi stratgis di BUMN andalan negara.
Mei 2015 lalu, Jokowi membubarkan mafia minyak Petral dan merevisi kontrak tambang dengan korporasi global, membeli kembali saham Freeport – semua sangat beresiko, karena negara negara industri imperialis, mencampur adukan bisnis dan politik – terutama Amerika dan Eropa.
Para pemimpin sebelumnya cenderung main aman, karena tanpa keringat dan resiko dapat bagian dan setorannya. Bukan rahasia lagi.
Rencana pembubaran Petral (Pertaminan Energy Trading Ltd) sudah diwacanakan sejak 2006, tapi gagal. Faisal Bari terang terakan memberikan kesaksian bahwa pemerintahan SBY melingi petral dari pelbagai puaya pembubaran petral.
Semasa Dahlan Iskan jadi Menteri BUMN sudah tiga kali dipanggil istana dan gagal.
Sudirman Said menyebut Petral diisi segelintir orang yang rutin menyuap pejabat untuk memuluskan bisnis mereka.
Terbaru, kesiapan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung sudah 88% dan bakal diuji coba pada November 2022.
Rencananya uji dinamis akan dilakukan bersamaan dengan peninjauan Presiden Joko Widodo dan Presiden China Xi Jinping ke proyek tersebut. Proyek ini penuh resiko politik dan ekonomi.
Sebelumnya di ibukota mewujudkan MRT HI – Lebak bulus yang digagas sejak zaman Suharto namun tak kunjung tereksekusi.
Keberanian Jokowi masih terus diuji, dengan proyek pemindahan ibukota negara ke Penajam, Paser Utara, Kalimantan Timur, yang dimulai sejak 2022 hingga 2045 mendatang dengan biaya Rp. 466 triliun dengan modal awal Rp.30 triliun.
Sekali lagi kepemimpinan teruji dalam krisis. Dan krisis di negeri belum berakhir, bukan karena faktor luar negeri, global, melainkan juga dari negeri sendiri. Dari para politisi dan aparat sendiri. ***