Seide.id -Judul itu bukan salah tulis. Yak, itu memang tertulis keretapi, bukan kereta api (dipisah pula). Pramudya Ananta Toer, novelis dahsyat itu, memang lebih suka menulis keretapi daripada kereta api. Menurutku, keretapi lebih pas. Karena kita memang mengucapkan dan terdengar orang mengucapkan demikian. Kereta atau dalam bhs Inggris wagon, adalah suatu ‘kamar bergerak’ yang bisa menampung banyak penumpang. Kereta atau wagon itu ditarik oleh sebuah ‘penarik’ yang disebut lokomotif. Lokomotif digerakkan oleh tenaga dari api (batubara). Dulu ayahku menyebut ‘stenkol’. Aku menduga stenkol itu dari bahasa Belanda yang artinya adalah: udara panas yang diciptakan oleh arang batu menjadi tenaga yang dapat mendorong atau menggerakkan sesuatu. Kalok salah, ma’aap.
Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi meresmikan jalur dan keretapi dari kota Makassar menuju Parepare. Jalur keretapi pertama di pulau Sulawesi. Kalau tak salah, di Sulawesi juga, ada suatu desa, di mana penduduknya sampai mencium jalan aspal yang melalui desanya. Suatu pemandangan yang sangat mengharukan. Apalagi sejak kecil, sejak SD, di buku pelajaran sekolah kita mengenal bahwa pulau Buthon adalah penghasil aspal. Dan pulau Buthon, adalah pulau yang berjarak hanya beberapa km saja di selatan Sulawesi!
Kembali ke-keretapi. Aku bukan ingin bercerita secara metodologis, komprehensif apalagi ilmiah tentang keretapi. Aku hanya ingin blanyongan secara sooradis saja, seperti orang awam pada umumnya yang jika berpegian lewat darat menumpang keretapi. Karena seandainya ada pilihan tentu saja aku akan memilih naik keretapi dibanding naik bus.
Seorang kawan terkejut ketika aku bercerita bahwa aku ke-Palembang menumpang keretapi dari Lampung Selatan. Aku pun, tak kalah terkejut. Karena bahkan seorang wartawan yang ‘kesematan’ bepergiannya relatif lebih banyak daripada orang lain pun, tak tahu apalagi familiar, bahwa di pulau Sumatra ada keretapi. Bagaimana pula bagi masyarakat yang jarang bepergian? Apakah itu karena kita semua ‘memaklumi’ belaka bahwa pembangunan infrastruktur di Indonesia (termasuk keretapi) itu ‘baru sampai’ pulau Jawa saja?
Dulu, tahun ’97 ketika kantor ‘menyuruhku’ ke-Hongkong untuk meliput pengembalian Hongkong ke-Cina setelah ‘dipinjam’ oleh Inggris selama 90 tahun, selama di Hongkong, aku betul-berul norak, …karena menikmati dan agak mengekplorasi keretapi. Baru naik bus, ketika menuju suatu tempat dan ‘terpaksa’ naik bus, karena tak ada keretapi yg bisa menjangkaunya. Saking noraknya, aku sampai ingin membuktikan ‘kecanggihannya’ (waktu itu, apalagi jika dibandingkan dgn perkeretapian kita).
Misalnya, aku naik keretapi, membeli tiket dari stasiun A menuju stasiun B atau C. Di keretapi, tentu tak ada kondektur yang bertanya apakah kita memiliki tiket atau tidak. Turun pun, terserah di stasiun mana saja.
Bolak-balik seharian pun, monggo. Tetapi, jika tiketmu dengan tujuan stasiun B, tiketmu (yang berupa kartu itu), tak bisa kau gunakan untuk keluar dari stasiun E, F atau G. Waktu itu, aku ‘ingin membuktikan’ kecanggihannya. Membeli tiket jurusan stasiun B, tapi turun dan ke luar di stasiun F. Setelah beberapa kali aku ‘gesek’, …pintu stasiun tak juga terbuka. Aku coba lagi, juga tak terbuka. Tiba-tiba seorang polisi stasiun (?), menghampiri dan minta izin untuk melihat tiketku. Lalu dengan nada agak tinggi dalam bahasa Mandarin, dia berkata sambil melotot, menunjuk-nunjuk bergantian antara tiketku dan pintu keluar : .. keluar: “Hah-heh-hoh,…wah-weh-woh,…cah-ceh-coh,…iyaw-iyaw-iyaaaw…!”
Aku menduga, dia berkata:… “Dasar norak! Tiketmu ini, untuk ke luar di stasiun B, bukan di stasiun F iniiiii!” Iya, iya, iya. Aku juga tahu, aku harus ke kuar di stasiun sesuai dengan yang tertera di tiket. Aku cuma penasaran saja. Tapi itu cuma aku acapkan dakam hati saja, sambil tersenyum. Eh dunsanak, pernahkah kau tersenyum di dalam hati?
Keretapi, di ‘negara kota’ itu agaknya memang mutlak. Juga di kota-kota besar modern lainnya.
Negara-negara Eropa, konon sedang mengupayakan untuk mendorong warganya untuk menggunakan keretapi daripada pesawat terbang. Sehingga seluruh Eropa bisa dijangkau dengan keretapi. Karena dibandingkan dengan pesawat terbang, keretapi bisa mengangkut penumpang secara masal dan relatif lebih aman. Perbedaan yang sangat terasa antara keretapi dibandingkan dgn pesawat terbang adalah: kecepatan. Jika keretapi bisa mendekati saja, kecepatan pesawat terbang, …wuiiih! Eropa sedang menuju ke arah sana. Jepang, malah sudah meninggalkan teknologi kecepatan keretapi Eropa. Sinkasen sudah bisa berkecepatan 310 km/jam. Bayangkan, jika jarak Jakarta-Yogya bisa ditempuh tak sampai 2 jam? Hampir seperti pesawat terbang, bukan?.
Sudah lama kita membayangkan kota sebesar ibukota negara kita, memilikinya. Keretapi dengan kecanggihan dan kenyamanan yang memadai. Sekarang meski terlambat cukup lama (bahkan ada pengamat transportasi perkotaan mengatakan: lama sekali!), ..tapi paling tidak, ..kita sudah memulai.
Presiden Jokowi pernah bertekad hendak memulai membangun infrastruktur perkeretapian di selutuh negri. Aku langsung bersorak. Tentu, infrastruktunya sangat pajang, lama dengan biaya yang pasti tak sedikit. Tentu proyek transportasi jangka panjang seperti itu, tak mungkin selesai oleh seorang pemimpin, bahkan dalam 2x pemerintahan. Tapi, bertekad memulai saja sudah luar-biasa. Semoga penggantinya nanti juga berfikir bahwa itu adalah hal penting untuk warga dan harus dilanjutkan.
Aku membayangkan, seandainya negri kita yang luas ini, segala pelosoknya bisa dijangkau (baik sarananya atau ongkosnya) dengan sarana transportasi keretapi. Seandainya aku masih berkesempatan bepergian ke seluruh pelosok negri indah ini dengan menumpang keretapi, aah alangkah elok…
Ilustrasi: Sketsa dari belakang dua anakku di sebuah stasiun keretapi di Taiwan. Sketch ini aku beri judul sementara: “Bergegas”…(akrilik di karton duplex, 80x55cm).
(Aries Tanjung)