Malaysia pernah sesumbar (sesumbar itu artinya: menyombongkan diri, bukan seluruh Sumatra Barat) bahwa dalam beberapa tahun Ke-El, Kuala Lumpur akan menjadi “Kota yang bebas daripada kertas”. Kata ‘daripada’ itu, seharusnya ‘dari’, tapi orang Malaysia rupanya kerap mencampuradukkan pengertian antara: ‘dari’ dan ‘daripada’.
‘Kota tanpa kertas’ itu bisa diartikan secara harafiah atau sebagai perumpamaan.
Secara harafiah, artinya kertas tak lagi digunakan dalam (salah-satu dan kunci) dunia percetakan, dunia media. Artinya jika kita ingin melihat, membaca atau mengetahui informasi, kita tak lagi melihatnya dalam fisik kertas. Koran, majalah, novel, buku-buku pelajaran, katalog,…dst, hanya dilihat dari layar digital.
Konsekuensinya,…mata manusia masa depan, akan selalu melihat segala informasi lewat gawai. Mata manusia akan selalu terpapar cahaya yang berpendar dari gawai digital. Dari lampu bertenaga listrik.
Secara simbolis, kota atau negara tanpa kertas, atau sekarang mulai populer dengan instilah paperless, itu adalah simbol kemajuan teknologi.
Sekarang, setelah beberapa tahun kemudian,…adakah kota Kuala Lumpur ‘bebas kertas’? Ternyata masih jauh dan agak lama. Itu ‘kan cita-cita. Mungkin begitu kilah mereka. Ah, jika cita-cita sih,…semua negara juga, punya cita-cita yg sama.
Dunia tanpa kertas, memang perlahan tapi pasti, mungkin terjadi. Di seluruh dunia, konon industri media cetak menurun hingga 60% lebih dan akan terus munurun.
Kantorku tempat aku bekerja, sejak aku pensiun sudah menurunkan produksinya.
Dulu, ketika percetakan di mana media kertas masih berjaya, kantorku, tepatnya percetakan di mana tabloid kami dicetak, pernah bingung dan blingsatan. Karena tersiar kabar pemerintah akan menghentikan atau mengurangi secara signifikan import kertas. Maksudnya jelas,…supaya produksi kertas dalam negri bangkit dan maju. Tapi konsekuensinya, harga kertas impor jadi mahal. Dan itu tentu berpangaruh terhadap biaya produksi dan tentu harga jual semua media cetak yang kami terbitkan.
Bagaimana dengan kertas sebagai media kesenian?
Lee Man Fong, salah-seorang pelukis dan kurator handal koleksi lukisan-lukisan Soekarno, punya fakta yang unik. Dia biasa melukis dengan media tinta Cina dan cat air di atas kertas.
Uniknya, ketika melukis dengan cat mintak pun,…di atas kertas. Aku pun pernah melukis dengan cat minyak di atas kertas. Tapi beberapa rusak karena kertasnya lama-lama rapuh,…’termakan’ oleh cat minyak. Entahlah Lee Man Fong menggunakan kertas apa. Karena konon ada kertas yabg harganya malah lebih mahal dibanding kanvas?
Di dunia senirupa, lebih spesifik lagi, seni lukis, kertas menempati posisi yang unik. Di satu sisi, kerap ‘diduga’ bahwa seni rupa dengan media kertas adalah media ‘kelas dua’,…bukan karena mutu karya-nya, tapi lebih kepada: media kertas dianggap tak bisa tahan lama, tak seawet, kanvas. Kertas akan menguning dalam jangka waktu tertentu. Kertas akan ambyar jika terkena air,…dst,…dll.
Mutu lukisan tak ada hubungannya dengan awet atau tidaknya media lukis. Tinta, cat air dan kertas, adalah seni rupa yg berkonotasi Asia, khususnya Cina. Bahkan dunia mengenal istilah ‘tinta Cina’.
Senirupa sangat dekat dengan seni sastra atau kaligrafi(?). Dalam falsafahnya, digambarkan bahwa tingginya nilai senirupa Cina adalah justru dalam “kesederhanaan dan menahan diri” ketika menggoreskan kuas di atas kertas. Semakin irit menggores (tapi gagasan yang ingin dituangkan tertangkap), semakin bermutu.
Salah-satunya adalah membuat garis atau lingkaran dengan kuas (yang disebut mopit atau mopi?) tak terputus dalam satu tarikan nafas. Kekuatan ‘menahan diri’ yang lain, digambarkan dgn: melukis di atas kertas yang tipis, dgn media tinta atau cat air, dengan kuas yg runcing, tetapi kertasnya tidak sobek! Kuas yang dipegang seakan-akan mengambang sedemikian rupa, sehingga tak menyebabkan kertas sobek!.
Dugaan tentang ‘tidak awet’-nya media itu terbantahkan. Jika, lukisan dengan media kertas disimpan di tempat yang baik, dengan suhu dan kelembaban yang baik, .. lukisan-lukisan itu akan baik-baik saja. Karena belum lama ini ditemukan setumpuk lukisan-kukisan Van Gogh dalam sebuah rumah (gudang?) di sebuah desa di Belanda.
Lukisan-lukisan sketsa Van Gogh itu tentu saja selayak harta karun. Sketsa-sketsa itu masih utuh, baik warna mau pun medianya. Sketsa-sketsa itu dibuat dengan cat air di atas kertas !
(Aries Tanjung)