Seide.id – Justru karena ingin yang serba ideal bagi anak, orangtua kerap terjebak melakukan kesalahan fatal dalam mengasuh anak. Apa saja bentuk kesalahan dan bagaimana seharusnya?
Sebelum ini, dalan bagian pertama, sudah di-share tiga kesalahan dan kiat tepat orangtua dalam mengasuh anak. Masih ada empat lagi, dalam bagian kedua ini.
4. Abaikan kehidupan spiritual
Orangtua seperti ini biasanya merasa malu mengakui keterbatasan mereka sebagai manusia. Termasuk takut dianggap sok suci saat ingin rajin beribadah.
Kesibukan yang mendera juga membuat mereka tak lagi memiliki waktu luang untuk mengembangkan kehidupan spiritual, termasuk berdoa, beribadah, dan bermeditasi. Tak heran kalau individu jadi sulit bersikap ikhlas, rendah hati, dan kesediaan membina interaksi secara mendalam.
Kiat tepat
Kekuatan aspek spiritual justru akan mengantar setiap individu jadi manusia arif. Ia akan lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan karena semua orang dianggapnya sebagai sesama, mudah berempati terhadap penderitaan orang lain. Ia tahu kapan harus berjuang keras dan kapan harus berpasrah pada kuasa Sang Pencipta.
5. Kelewat lengket
Dorongan ingin diterima oleh anak membuat orangtua bersikap kebablasan. Tanpa disadari, mereka membuat hubungan yang sangat dekat, hingga batas pribadi antara keduanya jadi sangat lemah dan cenderung setara alias tak berstruktur.
Akibatnya, tugas orangtua untuk mendidik dan memimpin anak pun jadi tidak jelas.
Bukan cuma itu. Ayah yang hubungannya kelewat dekat dengan anak perempuannya, bukan tidak mungkin memunculkan konflik kebencian di hati si ibu. Ia merasa posisinya sebagai istri sekaligus kekasih suami terampas.
Konflik serupa juga dialami anak-anak lain yang tidak memiliki hubungan istimewa.
Sementara itu, anak yang jadi sahabat orangtua pun kurang memiliki kesempatan menjadi dewasa.
Bukan tidak mungkin kelak ia cenderung menuntut suaminya berperilaku sama seperti ayahnya yang memperlakukan dia bak seorang putri.
Begitu juga hubungan kelewat lengket antara ibu dengan anak laki-lakinya, kelak hanya akan memasung kebahagiaan si menantu perempuan yang “kalah” karena selalu dibanding-bandingkan dengan mertua perempuannya.
Kiat tepat
– Idealnya, hubungan orangtua-anak tetaplah memiliki batas
– Apapun alasannya, masing-masing merupakan individu dari dua generasi yang berbeda
– Orangtua hendaknya jangan pernah berdalih “mendampingi” anak ke mana pun dan di mana pun si anak berada.
6. Serba santai
Dalam keluarga seperti ini, orangtua gagal memberi pemahaman mengenai kontrol diri. Akibatnya, kehidupan berkeluarga jadi serba santai kalau dibilang tak punya tujuan yang ingin dicapai.
Semuanya berjalan seperti air mengalir tanpa perencanaan matang. Tiap anggota keluarga jadi tak mengerti apa yang seharusnya dilakukan.
Orangtua tak mampu menjalankan perannya sebagai kapten kapal yang bernama rumah tangga dan cuma bisa mencanangkan berbagai aturan, namun realisasinya nihil. Akibatnya, anak tumbuh jadi pribadi yang tak mengenal pengendalian diri.
Kiat tepat
Seharusnya, secara konkret ada sosok modeling sekaligus demonstrator. Seperti, “Begini lho caranya, Dik.” Jadi, bukan sebatas komando, “Kamu harusnya begini dan begitu!”
7. “Memperalat” anak
Dewasa ini begitu banyak tersedia pilihan karier di masyarakat yang justru menimbulkan kecemasan yang lebih besar di hati para orangtua dibanding masa sebelumnya.
Buat para orangtua, anak tetaplah anak, sebagai “makhluk” kecil yang tak berdaya.
Anggapan salah itulah yang kemudian membuat orangtua terlena menyetir anak. Mereka seenaknya menentukan apa yang harus dilakukan si anak tanpa mempertimbangkan aspirasinya.
Alhasil, anak jadi terbiasa bergantung pada orangtua.
Yang lebih membuat prihatin, orangtua merasa “memiliki” anak-anak, dibarengi arogansi untuk menguasai anak sepenuhnya.
“Lho apa salahnya? Kan saya yang melahirkan. Saya juga yang selama ini membiayai hidupnya.”
Padahal, orangtua bukanlah pemilik. Ia hanya mediator, karena anak punya kemampuan, harapan, dan daya hidup sendiri.
Kiat tepat
– Jangan tancapkan superioritas orangtua yang justru membuat anak tak memiliki harga diri yang sehat. Ingat, anak bukanlah miniatur orang dewasa
– Biarkan anak memiliki identitas sendiri yang dicapainya melalui cara dan gaya hidupnya sendiri pula
– Ingat, anak memang perlu memiliki tanggung jawab, tetapi tidak untuk menjadi budak atau orang dewasa kecil. Mereka terlahir bukan untuk mengasuh dan memenuhi kebutuhan orangtua, lho!
Penulis Puspayanti, kontributor