Oleh DR HANDRAWAN NADESUL
Orang-orang dulu bilang rajin bangun pagi supaya rejeki tidak keduluan ayam. Beberapa studi yang saya baca bicara tentang itu. Statistik rata-rata orang sukses, mereka bangun lebih pagi, dengan menangkap sekian kelebihan manfaatnya.
Tabiat orang yang mengejar achievement, pekerja keras, petarung kehidupan, waktu 24 jam harus bisa dilipat-lipat kali supaya produksi karya berlipat juga. Ahli managemen bilang begitu. Kita harus cerdas melipatgandakan waktu milik kita, supaya satu jam kita berarti lebih dari satu jam belaka.
Bangsa yang sukses, punya need-for-Achievement (n-Ach), semangat berupaya mengejar raihan prestasi yang tinggi dibanding bangsa yang lemah. Bangsa Cina dan Jepang, misalnya, setara dengan bangsa Troya dulu, yang kuat dan keras semangat juangnya. Mereka menghargai dan memanfaatkan waktu, semua dilakukan serba gesit supaya efisien, supaya dalam waktu yang sama membuahkan hasil yang berlipat kali lebih besar. Hasil yang lebih optimal. Seumpama satu tenaga kerja bisa menggantikan 5 tenaga.
Sekolah dokter mengharuskan perlu menghargai dan memanfaatkan waktu seefisien mungkin, karena bahan yang harus dipelajari banyak sekali. Bertekun belajar sampai begadang saja pun belum tentu cukup menuntaskan begitu banyak yang perlu dihapal. Perlu duduk tekun berjam-jam, bahkan puluhan jam setiap harinya. Bangun lebih pagi bagian dari keharusan itu.
Perjalanan hidup saya dulu perlu menata waktu lebih sekadar efisien karena selama sekolah dokter saya harus nyambi kerja. Waktu itu saya pesimis kalau saya bisa selesai kuliah melihat teman yang bertekun saja tanpa diganggu sampingan nyambi pun, beberapa, sekitar separo berguguran tidak selesai (DO). Keberuntungan juga Yang Maha Welas Asih memberi berkat mengantar saya lulus dokter.
Sejak masih kecil entah mengapa saya punya etos kerja yang kuat, bisa jadi karena termotivasi ingin menjadi orang sukses. Ini motif yang biasa bertumbuh dari hidup yang serba kekurangan. Trauma tidak enaknya bukan keluarga kecukupan yang dicatat dalam benak masa kecil sebagai inner-child. Bisa jadi sebagai trauma juga.
Pengalaman masa kecil yang rindu makan roti berlapis cokelat mesyes seperti teman sekelas, misalnya, karena di bekal tas cuma roti berlapis gula jawa. Wanginya telor dadar omprengan teman sebangku, aneka mainan teman tetangga, harus meminjam pensil warna teman sebangku, membayangkan enaknya naik mobil pribadi, dan punya rumah yang bagus. Itu semua menjadi motivasi kuat supaya kelak bisa membeli semua itu.
Termotivasi harus jadi pintar. Untuk pintar harus kerja keras. Etos itu tumbuh subur sejak kecil. Selalu terdorong ingin menjadi nomor satu. Dan itu ternyata yang terjadi. Pernah juara mengarang, ranking di sekolah, menjadi Osis, berusaha terpilih jadi pemain sepakbola hanya termotivasi ingin mendapat sepatu bola gratis. Banyak membaca apa saja supaya menjadi banyak tahu. Ingin jadi anakpintar supaya dipandang orang. Buah itu semua yang kemudian menjadi modal untuk berkembang, menjadi penulis, dan menjadi seseorang, sampai meraih profesi medik.
Karena punya etos kerja yang elan vita begitu, dari kecil tidak nyaman kalau waktu dibiarkan lewat tanpa melakukan sesuatu. Heran kalau melihat ada teman atau orang yang santai saja menghabiskan waktu. Maka selalu terdorong harus melakukan sesuatu, paling kurang mengisinya dengan membaca.
Etos itu terbawa terus. Bukan saja semangat ingin meraih lebih yang dijuluki orang (bangsa) yang punya n-Ach tinggi, terlebih ingin merealisasikan mimpi masa kecil, punya rumah dan mobil. Untuk itu tak cukup motivasi, melainkan harus gesit melihat peluang dan menangkapnya.
Kegiatan mencari uang dari honorarium menulis di koran dan majalah, sebagaimana nyambi sewaktu sekolah dokter, motivasi untuk mewujudkan mimpi besar itu dilanjutkan dengan terus menulis sebanyak-banyaknya supaya dapat uang sebanyak-banyaknya dari honorarium menulis etelah lulus dokter.
Sebelum lulus dokter tidak mudah meloloskan tulisan ke koran dan majalah sebagus setelah menjadi dokter. Koran dan majalah mengejar agar saya menulis lebih banyak dan menjadi pengasuh rubrik, sampai saya kewalahan melayani begitu banyak permintaan tulisan saya. Itu saya lakoni karena sebagai dokter muda, penghasilan bulanan sebagai pegawai negeri untuk makan saja belum cukup, apalagi buat mengejar mimpi. Praktik dokter muda masih dibina belum mencukupi. Maka perlu lebih gesit mencari peluang, dan nyatanya raihan punya rumah kecil pertama diperoleh dari honorarium besar menulis buku Inpres Diknas (Proyek Buku Inpres dicetak 120 ribu eksemplar dibayar kontan). Lalu punya mobil kecil, lalu baru berani menikah.
Ya, karena masa muda begitu berpeluh-peluh maka bijak kalau memutuskan dan berkomitmen harus minggir “menepi” setelah pensiun. Bukan merasa sudah berlebih, melainkan memutuskan untuk bilang cukup. Untuk bilang sudah selesai sebagai manusia. Untuk kehidupan duniawi. Orang-orang melihatnya aneh, seolah sudah tidak mau berkarya lagi.
Yang tahu apa yang saya kerjakan, menilai ini bijaksana. Memutuskan berhenti beraktivitas yang berpeluh-peluh dan siap untuk mulai menikmati. Bukan hanya uncang-uncang kaki, melainkan melakukan aktivitas lain yang bikin hati senang. Saya tetap menulis buku, memberi seminar, dari situ masih ada tambahan penghasilan yang bukan untuk dikejar, tapi dianggap bonus. Kalau itu dinilai sebagai kegiatan berbagi, saya juga melakukannya beberapa kegiatan berbagi lainnya. Ada seminar yang diberi honorarium tinggi, sangat tinggi yakni dari perusahaan, dan untuk perusahaan saya pasang tarif. Ada juga seminar yang saya menerima diberi sesanggupnya.
Tapi sebagaimana halnya jasa dokter dalam praktik, memberi seminar juga jasa profesi, yang berarti memberi penghargaan atau honorarium, dan itu bukan upah. Dan sebagai profesional saya berhak menerima, dan diberi. Ada saja pihak yang kurang menghargai jasa profesi memberi seminar. Bukan dari berapa besar honor yang diberi, tapi sama sekali tidak memberi penghargaan apapun hanya ucapan terima kasih. Gereja yang saya layani saja pun masih menyisihkan uang kas untuk memberi penghargaan honorarium memberi seminar.
Kembali soal kebiasaan hidup sejak kecil, beruntung, hidup saya yang sudah terkondisikan sejak masa kecil, dengan etos kerja, dengan spirit tinggi, saya masih terus melanjutkan bangun lebih pagi. Untuk apa? Untuk berbagi.
Saya menjawab pertanyaan konsultasi di sejumlah WAG, dari email yang dikirimkan peserta seminar, atau teman-sahabat, kerabat, atau dari WA dan FB. Sesubuhan sebelum jalan pagi, saya menjawab surat konsultasi, dan itu gratis. Ini sudah komitmen sejak saya memutuskan minggir dan “menepi” ingin supaya hidup lebih punya arti setelah pensiun. Beberapa surat dan komentar di FB mengatakan, “Kok mau sih dokter memberi konsultasi gratisan?” Mereka tahu di mana-mana negara honorarium jasa profesi dokter hak yang diberikan bukan hanya setelah memeriksa dan memberi resep obat, melainkan sekadar berkonsultasi saja pun ditarik honorarium. Masih ada yang kaget bila di RS Singapura, misalnya, pasien hanya bertemu dokter di lorong bangsal untuk bertanya tentang penyakitnya, lalu honorarium dokter masuk bon RS.
Honorarium saya dulu waktu lulus dokter sebagai pengasuh rubrik kesehatan di koran dan majalah, dalam sebulan bisa untuk makan sebulan ketika itu. Honorarium menjawab pertanyaan konsultasi. Saya ungkapkan ini hanya untuk menyampaikan bahwa apa yang selama ini saya berikan cuma-cuma untuk jawaban surat konsultasi di FB, WAG, email dan ruang lain, berharap dilihat ada nilainya.
Semua yang saya tuliskan ini barangkali bisa memberi inspirasi untuk yang masih muda. Fighting spirit perlu tetap menyala untuk sukses duniawi. Berpeluh-peluh selagi muda ternyata perlu supaya menua yang indah. Untuk itu hidup perlu diprogram, dirancang, untuk persiapan hari tua yang indah. Hari tua yang tidak lagi perlu berpeluh, cukup tinggal memetik kenikmatan.
Untuk itulah saya jadi teringat ujaran Robert Kyosaki, ahli mengelola uang, bahwa kalau waktu muda kita bekerja untuk uang, dan setelah tua uang bekerja untuk kita. Untuk itu perlu dirancang sampai kapan kita bekerja untuk uang, dan saya merancangnya sampai saya pensiun. Setiap orang punya perhitungannya sendiri.
Saya percaya kalau mudanya keras, sebagaimana yang saya alami, tuanya akan lembut. Maka dari itu masa muda tidak boleh lembut, supaya tuanya tidak keras. Rancang masa muda dengan fighting spirit, spirit petarung, dengan kerja keras, dengan melipat-lipat gandakan waktu, dan tidak pernah merasa puas, agar semangat n-Ach, semangat meraih lebih, dan lebih lagi, selalu tinggi.
Salam sehat