MAS SOEGENG
Sewaktu keliling di Bali, Dr Handrawan Nadesul menawari saya untuk mencicipi nasi campur Bali berikut satenya yang enak. Sudah lama, sejak mengenal beberapa teman dokter, termasuk Dr Hans ini, saya menjaga diri, tidak makan sembarangan. Apalagi yang belum pernah saya makan. Terlebih tidak tahu, seperti apa makanan kita dibuat. Namun jika yang menawari seorang dokter yang ahli dan peduli tentang kesehaan, tentu saya percaya.
Kami makan di sebuah restoran dengan pemandangan yang cukup indah di Nusa Dua Bali. Di situ saya mulai lebih hati-hati lagi, tatkala Mas Hans – panggilan akrab beliau- menceritakan tentang kesehatan. Salah satu yang saya ingat adalah di usia tua ini, kita semua harus lebih berhati-hati memilih makanan sehat yang layak masuk dalam tubuh kita.
Makanan Sehat Dari Dapur
Kesehatan, kata Mas Hans, terletak di dapur kita. Bukan di restoran. Dia ingin menjelaskan bahwa berbagai makanan yang sehat adalah makanan yang dihasilkan di dapur kita, dimasak oleh isteri, ibu atau pembantu rumah kita. Minimal, kita tahu persis bahan-bahan yang diolah bahan pilihan yang menyehatkan.
Di restoran, kita tidak tahu apakau bahan yang diolah sudah bercampur kimia atau tidak. Dicampur dengan bahan yang seharusnya tidak boleh berlebihan masuk dalam tubuh kita atau tidak. Kita tidak tahu seperti apa makanan yang akan kita makan dan dioleh seperti apa.
Jika kita rajin membaca berita bagaimana industri makanan dunia, setiap saat, mereka memproduksi ratusan bahan kimia baru untuk keperluan pengolahan makanan dan minuman. Sebagian, bisa jadi pernah masuk dalam tubuh kita.
Dalam sebuah makalah di jurnal kesehatan, kita bisa memperoleh pengetahuan bahwa makanan yang tidak sehat, mencemari tubuh manusia, lalu sel-sel tubuh dipenuhi bahan kimia yang tidak biasa bagi sel tubuh. Sedikit demi sedikit, sel tubuh menjadi sakit, rusak, dan bermasalah. Metabolisme tubuh jadi kacau. Kita lalu menjadi sakit. Sakit parah mempercepat kematian.
Abai Terhadap Kesehatan
Saya terbelalak dan menyadari betapa, sebagai wartawan yang jarang makan di rumah dan sering makan di restoran di hotel mewah atau warung pinggir jalan, tak pernah menyadari hal itu. Kita makan di mana saja, makan apa saja asal dapat menutupi rasa lapar kita.
Menurut berbagai penelitian, pada dasawarsa 90an hingga dasawarsa skarang ini, hanya 5% orang meninggal di usia tua, sebanyak 95% meninggal karena penyakit. Ini berbalik 180 derajad dengan kondisi kesehatan zaman dulu hingga 80an, dimana 95% orang meninggal karena mati tua, sementara hanya 5% yang meninggal karena penyakit.
Padahal, zaman dulu, tidak ada dokter pencerah kesehatan model Mas Hans ini. Informasi jarang, dan tak ada media komunikasi seperti medsos saat ini, yang mudah diperoleh dimana saja dan kapan saja. Jadi kalau sekarang sudah serba ada masih banyak yang terkena penyakit, saya menyebutnya sebagai kurangnya literasi kesehatan atau abai terahdap hidup kita sendiri.
Lemahnya Pengawasan
Di Indonesia, pengawasan peredaran makanan dan minuman terlalu longgar. Pendididkan kesehatan minim. Itu sebabnya, saya dulu bersemangat ingin membantu Mas Hans yang memiliki semangat menggebu memberikan edukasi kesehatan kepada masyarakat banyak. Baik secara free maupun komersiel.
Beda dengan di negara yang telah sadar kesehatan, dimana keamanan kesehatana warganya diawasi. Sehingga warga yakin apa yang dimakan dan diminum, telah melewati sebuah proses oleh petugas negara yang cukup ketat.
Di sini, siapa yang mengawasi ? BPOM lebih sibuk urusan perizinan. Tak ada badan yang peduli kesehatan masyarakat, survei keliling setiap saat memantau, apakah makanan yang disajikan di warung, cafe atau restoran sehat dan aman.
Penyebab Kanker
Semuanya dibiarkan begitu saja. Bahkan melihat anak kecil berseragam SD, di tengah istirahat makan gulali atau krupuk yang berwarna cerah menggiurkan ( bagi anak kecil), tak ada yang meningatkan bahwa bisa jadi makanan berwarna itu diberi pewarna tekstil rhodamine-B yang dapat menyebabkan kanker.
Ngeri kita melihatnya. Tapi bisa apa kita, sementara kita sendiri masih miskin pemahaman tentang kesehatan.
Apakah kita juga tahu bahwa saat kita makan bakso ( biasanya berisi mie, tahu, kecap, bakso) memakai pengawet bahan kimia yang dapat melahirkan berbagai penyakiat dalam tubuh kita ?
Kesehatan di Dapur
Memahami ini semua, perasaan kekhawatiran menyelimuti kita, betapa di usia kita saat ini – di atas 50 tahunan- kita baru menyadari bahwa apa yang kita makan selama ini sungguh tidak benar dan layak.
Di dapur rumah kita, bisa memilih bahan yang segar – apalagi memetik sayur dari kebun sendiri-, menghindari bahan yang dimasukkan kaleng, sungguh merasa lega, bahwa meski terlambat, setidaknya, kita semakin tahu bahwa tubuh kita layak dipenuhi dengan sesuatu yang sehat jika kita ingin selalu bugar.
BACA JUGA
Singapura Keluarkan Peraturan Yang Harus Ditaati Penonton Sepakbola Piala AFF 2020