Oleh FANNY JONATHAN POYK
Apa sih yang diperjuangkan oleh lembaga-lembaga kepenulisan itu? Para anggotanya yang kaya raya, intelektual dan banyak duit, endingnya hanya dari mereka untuk mereka saja. Sementara penulis marginal yang berkutat pada imaji dan kata macam saya dan Bapak saya Gerson Poyk, terus berteman dengan ruang sunyi tanpa tahu apa yang telah mereka perjuangkan untuk kami? Nothing.
Saya menulis sejak tahun 73 hingga sekarang, kemudian ayah saya Gerson Poyk menulis sejak tahun 50-an, pada akhirnya yang berjuang sendiri dengan usaha sendiri untuk memperkenalkan karya-karya kami, ya kami sendiri. Saya membawa karya-karya Ayah saya ke berbagai penerbit mayor/besar, dipilih hanya satu atau dua karya saja dengan laporan royalti yang kadang ada kadang tak ada beritanya.
Penulis Terkenalpun Mandiri
Sampai akhir hayatnya ayah saya tetap berjuang sendirian dan dibantu oleh sang anak. Kala ia sakit, beragam organisasi atau lembaga kepenulisan atau para pemerhati sastra yang katanya membentuk lembaga ini dan itu, tak satu pun yang nongol meringankan beban almarhum ayah saya yang semakin manula dan sakitnya kian parah.
Pada berbagai organisasi kepenulisan yang saya ikuti, isinya hanya orang-orang yang sibuk berceloteh tentang dunia mereka. Yang berjaya, kaya raya dengan gelar doktor dan profesor, bercuap-cuap antar mereka, sementara kita hanya menjadi pembaca WAG yang ‘cengok’ kayak orang bego dan tidak masuk hitungan.
Pada akhirnya, duit ambil peranan. Sama seperti di film-film Korea atau China yang sering saya tonton, para bos yang turun dari mobil Porche atau Lamborgini dengan uang milyar hingga trilyunan, mereka akan disoja-soja (dipuja) bak dewa yang turun dari langit. Melihat fenomena itu, keputusan menarik diri dan bergaul dengan ruang sunyi dan buku, itulah jalan terbaik untuk saya lakoni.
Organisasi Penulis Tak Peduli
Ketika saya berjuang mencari dana untuk berobat ayah saya, selain saudara, sosok-sosok pribadi yang care terhadap ayah saya, merekalah yang membantu. Selain teman-teman dan para sahabat yang dekat dengan kami. Organisasi atau kelembagaan yang membentuk persatuan dan kesatuan penulis, tak satu pun yang memperhatikan nasib ayah saya. Dan sampai sekarang saya pun juga merasakannya.
Saya berjuang sendiri, menulis sendiri, mencetak sendiri dan menjual sendiri buku-buku yang saya tulis. Menjadi seorang penulis yang dikenal kemudian memiliki link penerbit atau tokoh-tokoh besar untuk mendanai karya kita memang tergantung pada faktor keberuntungan masing-masing pribadi. Jika punya modal besar, menerbitkan sebuah buku tanpa memasukan unsur profit, itu bisa saja dilakukan, membentuk ‘brand’ seolah-olah karya itu berbobot dan berkualitas, itu sah-sah saja.
Berjuang di Ruang Sunyi
Namun bagi penulis idealis yang membawa imaji dari ranah sastra, semacam saya, takdir untuk dikenal dan karya-karyanya dicetak oleh penerbit besar, adalah mimpi yang kadang bisa jadi nyata, kadang tidak dan jalan keberuntungan dari sebuah karya semuanya ditentukan oleh kebaikan hati Tuhan.
Melihat organisasi kepenulisan yang kerap kisruh di dalam, sementara sang penulis idealis terus berjuang di ruang sunyi di ranah sastra dengan mimpi dan idealisme hingga akhir hayat, rasanya perasaan menjadi letih sendiri.
Saya teringat pada sahabat lawas saya Tante Hanna Rambe yang karya-karyanya sudah dibuat film di Hollywood dan merambah di Frankfurt Book Fair serta London Book Fair, ia berkata, “Fan, gue berjuang sendiri untuk semuanya, termasuk mencari dana untuk mencetak buku, ikut berbagai kegiatan sastra tingkat dunia, uangnya gue cari sendiri, lembaga atau organisasi kepenulisan semuanya omdo alias omong doang. Kita penulis di negeri ini harus berjibaku untuk hidup dan mengikuti berbagai kegiatan sekaligus mencetak buku, dengan perjuangan sendiri. Berharap dari mereka, sampai mati pun gak bakal ada yang mau bantu. Apalagi kalau sudah pakai sistem seleksi-seleksian, bulshit itu.” kata perempuan penulis berusia 80 tahun yang novelnya berjudul Aimuna dan Sobori memperoleh penghargaan secara diam-diam di Amerika Serikat karena bercerita tentang cengkeh.
Saya Sekarang Melakoninya
Penulis tanpa pensiun yang hanya berjibaku dari kata ini, berjalan dengan pasrah dan idealisme yang masih tersisa, menulis dan menciptakan karya-karya dengan komunitas yang saya anggap masih mau menerima kehadiran saya, terus saya lakukan. Karena dunia satra yang saya tekuni sejak remaja, penuh dengan perjuangan yang berdasarkan karya, bukan karya karbitan.
Jangan terlalu banyak berharap pada organisasi dan materi, sebab mereka hanya akan sibuk dengan diri mereka sendiri. Mari menulis sampai raga tak berdaya untuk menata kata demi kata…salam literasi dan sehat selalu.