Foto : Farel Yesha / Unsplash
Oleh: Pupung D. Pribadi
Hari ini tugasku ke pasar. Untuk belanja beberapa ekor ayam, plus keperluan dapur lainnya untuk menyambut Idul Adha esok.
Sejak subuh, Bagus keponakanku mewanti-wanti dan siap untuk mengantarku. Tapi aku lebih senang naik angkot.
“Ngopo ngangkot? Diantar ae. Ayo…!” tegur kakak iparku yang tak kuhiraukan, karena mobil angkot telah berhenti di depan rumah.
Duduk di angkot bercat kuning, di tengah perjalanan, seorang nenek renta naik. Kebayanya kumal. Jarik yang membungkus kaki hingga pinggang penuh tambalan. Ia memakai selendang yang dililitkan di pundak. Dalam selendang itu, berisi tiga kilogram beras dan satu kilogram gula pasir.
“Sek isuk kok mpun wangsul, Mbah? (Masih pagi kok sudah pulang)”, sapa Mas Tanu, sopir angkot itu.
“Weteng kulo sakit, Mas,” sahutnya sambil memegang perutnya yang sakit.
Ternyata, Mbah ini seorang pengemis. Tempat tinggalnya jauh. Untuk sampai ke daerah tempatnya meminta-minta, diperlukan tiga kali naik angkot.
Melihatnya kesusahan bernapas, dadaku ikut sesak. Aku lalu bertanya mengenai kesehatannya. Ternyata sudah lama mbah itu mengidap TBC. Mendengar itu, aku jadi trenyuh. Kujejalkan sedikit uang ke dalam genggamannya.
“Untuk ongkos sampai di rumah dan sisanya untuk beli obat, Mbah.”
Kutatap wajahnya yang biru tirus. Kugenggam erat telapak tangannya. Ketika doa untukku menderas dari mulutnya, airmataku membasahi pipi.
Aku jadi teringat guruku. Ia pernah berkata, jika kamu bertemu pengemis dan kamu mempunyai uang, maka bersedekahlah. Jangan pernah bilang, bahwa memberi seorang pengemis itu tidak mendidik. Jika memberi tidak mendidik dan kau mampu, bawalah mereka pulang ke rumahmu dan didiklah. Tetapi untuk memberi itu tidak harus menunggu kita jadi kaya lebih dulu.
Dengan berbagi, dadaku merasa plong, seakan tidak ada lagi yang menghimpit jiwa ini.