Ketika Polisi Menyamar Jadi Wartawan

Preess TV

Kenapa fokus ke aparat negara ? Bagaimana dengan kaki konglomerat yang menyamar sebagai wartawan? Agen Gedung Putih dan korporasi global mensponsori organisasi kewartawananan, ‘buzzer’ politik yang nyamar jadi wartawan? Kader partai yang nyamar jadi wartawan ?

Oleh DIMAS SUPRIYANTO

SEBAGIAN teman jurnalis dan organisasi pers kepanasan, karena ada polisi yang menyamar menjadi wartawan selama 10 tahun dan baru terungkap pekan ini.  Sejak 2012 pak polisi jadi kontributor di  stasiun TVRI, mendadak terungkap setelah menjabat menjadi Kapolsek.

Ramai jadi pergunjingan,  Iptu Pol Umbaran Wibowo yang dilantik menjadi Kapolsek Kradenan, Blora, Jawa Tengah, Senin lalu, (12/12) ternyata wartawan lepas yang rutin mengirim berita ke stasiun TVRI Jawa Tengah.  Selain sah sebagai anggota Polri, ternyata Iptu Umbaran tercatat sebagai ‘Wartawan Madya’ yang mendapatkan sertifikat Uji Kompetensi Wartawan (UKW) melalui lembaga penguji Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

AJI  –  Aliansi Jurnalis Independen pun bereaksi keras dan menyampaikan kecamannya.    AJI Indonesia mencurigai, cara yang dilakukan Umbaran adalah satu dari banyak ‘praktik kotor’ yang dilakukan aparat keamanan menyusup ke institusi pers.

AJI juga mencatat bahwa cara serupa terjadi di tempat lain, seperti di Papua.  “Ini cara kotor memanfaatkan organisasi dan institusi pers untuk mencari informasi. Praktik ini sudah berlangsung lama, mungkin sejak zaman Orde Baru, apalagi di masa konflik,” kata Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Erick Tanjung kepada BBC News Indonesia, Kamis (15/12).

Menurut AJI, praktik yang “cukup marak terjadi dan berlangsung sejak Orde Baru tersebut” merupakan bentuk pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik dan juga UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.  Untuk itu, AJI mendesak aparat keamanan dan institusi negara lainnya menghentikan cara tersebut, dan juga meminta media massa melakukan “bersih-bersih” pegawainya yang dicurigai berperan “ganda”.

Direktur Utama TVRI, Iman Brotoseno, membenarkan bahwa Umbaran Wibowo adalah kontributor TVRI Jawa Tengah sejak tahun 2012.  Umbaran kemudian mengajukan pengunduran diri pada Oktober 2022 karena mendapatkan jabatan terbuka, yang kemudian diketahui diangkat menjadi Kapolsek Kradenan, Blora.

“Umbaran bukan pegawai tetap TVRI Jawa Tengah, tidak ada keterikatan.  Hanya kontrak lepas. Sehingga proses rekrutmen tidak seketat untuk pegawai tetap,” kata Iman. Selama belasan tahun menjadi kontributor, pihak TVRI Jawa Tengah tidak mengetahui jika Umbaran adalah anggota intelijen polisi.

TVRI, Iptu Umbaran Wibowo dan AJI

“Tidak ada yang dirugikan dalam menjalankan profesinya sebagai kontributor di jalankan dengan baik. Berita berita yang dikirim kontributor umumnya juga harus melewati seleksi redaksi di stasiun masing masing. Jadi tidak otomatis ditayangkan,” tegasnya.

Dewan Pers menegaskan tindakan Iptu Umbaran tidak bisa dibenarkan dan sertifikat UKW yang dimiliki Pak Kapolsek kini,  otomatis gugur.  Pihak Dewan Pers juga meminta klarifikasi ke PWI terkait UKW yang diikuti Umbaran sehingga bisa ditetapkan sebagai wartawan tingkat madya.

Sertifikasi UKW yang dimiliki Umbaran otomatis gugur karena telah melanggar aturan bahwa setiap jurnalis tidak boleh anggota TNI atau Polri.

SEBAGAI awak media, saya menganggap kasus penyamaran itu biasa saja. Saya tidak kaget dan saya tak perlu tersinggung.  Sejujurnya, justru saya salut pada Pak Iptu Umbaran!

Kok bisa ya bertahan 10 tahun menyamar tanpa ketahuan?

Pada dasarnya, aparat intelejen, khususnya polisi dan tentara – dalam rangka mengamankan negara dari berbagai ancaman  –  bisa menyamar jadi apa saja, jadi siapa saja.

Pada zaman Orba, para aktifis diawasi oleh “tukang ketoprak” dan “tukang sol sepatu” atau “pemulung” berambut cepak, dengan suara kemersek handy talkie dan benda menonjol di pinggangnya.  Dulu kami menyebutnya,  “spion Melayu”. Intel yang pamer, intel tapi begitu kentara.

Dari  pihak intelejen kemudian ada penjelasan, bahwa penyamaran yang kentara itu “disengaja” sebagai “penyamaran terbuka” yang ditujukan kepada mereka, aktifis, mahasiswa, politisi, tokoh perlawanan sebagai “peringatan awal” bahwa mereka sedang diawasi dan dipantau.  Bahwa dengan ditongkrongi  “tukang ketoprak” atau dikuntit “tukang sol sepatu”,  negara mengirim pesan,  “Anda sudah ada dalam radar kami, tolong jangan macam macam”.

Sedangkan Intel yang sebenarnya alias “intel tertutup” duduk nyaman di kepala biro, kepala staf, kepala HRD di kantor pemerintah dan swasta, BUMN  dan tidak pamer pamer.  Tapi laporan rutin terkirim ke badan intelejen pusat, yang kini bernama BIN.  Seperti yang dilakukan pak Kapolsek itu.

Densus 88 yang gigih menghabisi teroris hanya sebagian saja yang pakai seragam tempur dan bersenjata, sebagiannya nyamar jadi santri dan ustadz.  Masuk ke tengah komunitas radikal.

KARENA ITU, desakan AJI agar aparat kepolisian dan institusi negara yang lain untuk menghentikan penyusupan personel intelijen mereka ke institusi pers – sungguh menggelikan.  Juga permintaan institusi media untuk melakukan “bersih-bersih” terhadap pegawainya yang dicurigai berperan “ganda”, serta melakukan seleksi ketat terhadap calon pegawainya.

Lha, wong di jajaran pengurus Dewan Pers sendiri ada intel juga, kok. Sudah dituding secara terbuka dalam acara talkshow di teve swasta – dan yang dituding tidak membantah.

Memangnya kalau intelejen berhasil masuk, dan menyamar, kita bisa apa?

Kenapa fokus ke aparat negara ? Bagaimana kaki konglomerat yang menyamar sebagai wartawan? Agen Gedung Putih dan korporasi global mensponsori wartawan, ‘buzzer’ politik yang nyamar jadi wartawan? Kader partai yang nyamar jadi wartawan ?

Jangan lupa, negeri Irak, Suriah, Yaman hancur lebur karena peran wartawan juga, yang mengaku “independen” tapi ikut menyebarkan hoax yang dibuat pejabat Gedung Putih, seakan akan Irak memproduksi senjata biologis, memfitnah Bassir Assad diktator, dan di Indonesia belakangan ikut menyebarkan hoax, KUHP yang baru disahkan mengancam para turis, sehingga mereka batal berlibur ke sini.   ***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.