Oleh DR PURWADI,M.HUM
Ketua Lembaga Oleh Kajian Nusantara – Lokantara
B. Paugeran Jumenengan Puro Mangkunegaran
Nawala Sesepuh
Surakarta, 8 Januari 1988
No: 591/SK/I/05
Perihal: Pengukuhan GPH Sudjiwo Kusumo
Pengageng Puro Mangkunegaran selaku KGPA Mangkunagoro
Kepada Yth.
PARA SESEPUH AGUNG MANGKUNEGARA
DI
JAKARTA – BANDUNG – SALA
Dengan hormat,
Demi mengikuti jejak secara naluriah Tradisi Budaya Leluhur para pendahulu di masa-masa lalu, kepada seorang anggota keluarga yang ditetapkan sebagai pengganti kedudukan Pengageng Praja Mangkunagaran yang dalam situasi dan kondisi dewasa ini Pengageng Puro Mangkunagaran memperoleh Gelar dan Sesebutan KGPA MANGKOENAGORO.
Bahwa berdasarkan kesepakatan bersama para putra-putri Almarhum KGPAA Mangkoenagoro VIII tertanggal 5 September 1987 telah ditetapkan sebagai kepala keluarga Puro Mangkunagaran GPH Sudjiwo Kusumo, serta menjadi Pengageng Puro Mangkunagaran dan secara hukum berkedudukan selaku Pemangku Jabatan (waarnemer) dari almarhum KGPAA Mangkoenagoro VIII.
Putranda GPH Sudjiwo Kusumo mempunyai niat yang kuat untuk memakai saat 4 Jumadil Akir 1920 yang jatuh bertepatan tanggal 24 Januari 1988, sebagai hari pengukuhan selaku KGPH Mangkoenagoro. Keinginan tersebut mempunyai latar belakang dan motivasi bahwa saat itu bertepatan dengan hari wisuda dari Eyang KGPAA Mangkoenagoro I.
Dengan tujuan utama ‘ngalap berkah’ agar keberadaan Puro Mangkunagaran sebagai mewujudkan Titik Awal Era Baru Peri Kehidupan Mangkunagaran mendatang nanti, memperoleh ridho Tuhan Yang Maha Kuasa dan selanjutnya memperoleh karunia-Nya, seperti terwujud dalam riwayat keberadaan dan perkembangannya dimana karya karya budaya Mangkunagaran masih menunjukkan relevansinya pada akhir abad XX ini.
Pemerintah Indonesia memberi isyarat yang cenderung tidak mencampuri masalah alih kepemimpinan Puro Mangkunagaran, sehingga dengan demikian masalah Pengukuhan GPH Sudjiwo Kusumo – Pengageng Puro Mangkunagaran serta mewujudkan tindak lanjut dari ketetapan dalam kesepakatan para Putra-putri Almarhum KGPAA Mangkoenagoro VIII, merupakan permasalahan keluarga Puro Mangkunagaran sendiri.
Berkenaan dengan itu, maka kami selaku sesepuh/ketua dewan pertimbangan Mangkunagaran berpendapat bahwa para putra putri dari KGPAA Mangkoenagoro VII ditambah seorang kerabat yang sudah banyak dan besar jasa-jasanya kepada Puro Mangkunagaran, yang secara keseluruhannya mewujudkan para sesepuh agung Mangkunagaran, memiliki bonafiditas yang meyakinkan serta representatif untuk melakukan pengukuhan dimaksud di atas itu.
Sehubungan dengan itu, kami mohon para sesepuh agung Mangkunagaran yang terdiri dari:
1. GRAy Partini Hoesein Djajaningrat
2. GRAy Siti Noeroel Kamaril Ngasarati Koesoemowardhani Soerjosoejarso
3. KPH Soerjosoejarso
4. KPH Hsmidjojo Soeparto
5. GRAy Partimah Soenarso Purwohadinoto
6. KPH Ir. Soenarno Purwohadinoto
7. KRTH Waloejo Hardjoloekito
Guna melakukan Pengukuhan Putranda GPH Sudjiwo Kusumo serta menyandangkan Gelar dan Sesebutan selaku:
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegoro IX. Dan selanjutnya menerbitkan suatu Piagam Pengukuhan.
Atas kesediaan para sesepuh agung untuk sudi melakukan pengukuhan ini, maka kami, selaku sesepuh/ketua dewan pertimbangan Mangkunagaran mengucapkan terima kasih serta penghargaan yang sebesar besarnya.
Sesepuh/Ketua Dewan Pertimbangan Mangkunagaran
KPH Soerjosoejarso
AMANAT PENGUKUHAN
Sesepuh Mangkunegaran: KPH Soerjosoejarso
Mukadimah:
Puro Mangkunagaran timbul dalam bentuk, isi serta pengertian yang mengandung makna yang multi dimensional seperti sekarang ini, merupakan suatu realitas hidup dan terwujud sebagai produk suatu proses yang panjang dan tidak berdiri sendiri.
Walaupun proses yang berawal mula dari sesuatu kurun waktu sejarah, melalui jalur lintasan perjalanan perkembangan riwayatnya sendiri, namun merupakan satu rangkaian tidak terpisahkan dan menjadi bagian mutlak dalam kerangka sejarah kehidupan dan perjuangan hidup bangsa Indonesia. Mangkunegara I mengayunkan langkah guna melakukan perjuangan di Tanah Jawa.
Pengalaman perjuangan secara gerilya yang meliputi suatu medan wilayah terserak memanjang di sebelah selatan kota Surakarta sekarang, dari ujung barat daya sampai ujung tenggara, dengan melalui pergaulannya yang akrab dan penuh dengan semangat kekeluargaan yang berintikan martabat kemanusiaan yang agung, pejuang berdarah bangsawan namun memiliki jiwa kerakyatan yang tangguh, maka beliau telah memadu suatu penghayatan yang teramat mendalam atas keturut sertaan rakyat dalam perjuangannya selama 16 tahun.
Pendalaman dalam menggali nilai-nilai budaya leluhur, secara mendasar jiwa dan harkat kemanusiaan yang luhur para pengikut yang setia pada tujuan perjuangannya, telah melahirkan pada gilirannya suatu keyakinan yang mantap dan pada akhirnya menemukan falsafah dasar perjuangan, tersurat dan tersirat dalam tri darma: