Oleh DR PURWADI, M.HUM
Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara – Lokantara
C. Perjanjian Salatiga.
Berdirinya Pura Mangkunegaran atas dasar perjanjian Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757. Bertempat di Kalicacing Salatiga.
Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa dinobatkan sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegoro I. Pangeran miji ini punya hak status otonom. Di hadapan Sinuwun Paku Buwono III, lantas bersumpah setia dengan ungkapan Tri Darma.
Rumangsa melu handarbeni
Wajib melu hangrungkebi
Mulat sarira angrasa wani.
Melalui suatu langkah kebijakan yang arif dari dan atas jasa yang dipersembahkan oleh Patih Sinduredjo, tercapailah suatu persesuaian antara Sinuhun Paku Buwono III, dengan kakak sepupunya yang pada waktu itu disebut sebagai Gusti Sambernyawa. Butir butir kesepakatan itu melingkup tiga hal pokok berikut:
1. Diberi wilayah kekuasaan 4.000 karya, yang pernah menjadi medan perjuangan selama 16 tahun melakukan perjuangan lahir batin.
2. Dalem Mangkuyudan sebagai istana dan pusat pemerintahan, dikenal sekarang sebagai Pura Mangkunegaran.
3. Diberi gelar dan sesebutan yang berlaku selamanya, kangge salajengipun sebagai: KGPAA Mangkoenagoro I.
Saat kedatangannya kembali ke Sala yang terjadi pada hari Kemis Paing, tanggal 4 Jumadilakir Windu Hadi, angka 1682 sinangkalan: Mulat Sarira Angrasa Wani.
Mewujudkan sekaligus realitas secara fisik dan hukum dari Ketiga Pokok pokok Dasar Fundamental kesepakatan di atas. Keberadaan Praja Mangkunagaran meliputi wilayah kekuasaan tersebut, Dalem Mangkuyudan yang merupakan kediaman resmi dari Pengageng Praja Mangkunagaran serta diwisudanya Kanjeng Gusti Sambernyara sebagai KGPAA Mangkoenagoro, menjadi titik awal peri kehidupan Mangkunagaran.
Kekerabatan Mangkunagaran memiliki ciri-ciri khas tersendiri, mengingat KGPAA Mangkoenagoro sapisan menetapkan bahwa semua pendukung setia perjuangannya beserta trah-trah keturunannya merupakan Kerabat Mangkunagaran.
Berkenaan dengan ungkapan ungkapan sebagai tertera pada butir butir tersusun dalam mukadimah disebutkan di atas, serta.
Mengingat:
1. Kesepakatan bersama para putra putri Almarhum Sri Mangkunagoro VIII, tanggal 5 September 1987.
2. Keputusan dewan pinisepuh Mangkunagaran Surakarta tanggal 6 September 1987 nomor: 601/Dewan/Khusus/IX-1987.
Kedua duanya telah tersimpan sebagai konsinyasi pada kantor notaris Maria Theresia Budisantoso, SH, seperti tercantum pada akta penyimpanan tertanggal: 20 Oktober 1987, di bawah nomor 72.
Menimbang:
1. Bahwa sesuai dengan butir butir ungkapan dalam kesepakatan dimaksud di atas, yang berbunyi antara lain:
a. Keseluruhan dari karya-karya Budaya di atas menjadi satu bukti nyata betapa besar sumbangan Mangkunagaran di tengah-tengah sejarah kehidupan budaya nasional. Kekayaan dalam perbendaharaan budaya oleh Sri Mangkoenagoro VIII semasa hayatnya masih terus dipelihara serta dibina pertumbuhannya, sekalipun pada kenyataannya selama 42 tahun terakhir ini, sekedar berfungsi tidak lebih daripada seorang Kepala Keluarga/Kerabat dalam lingkungan keluarga besar Mangkunagaran.
b. Berkenan dengan kepergian Sri Mangkunagoro VIII memenuhi panggilan Khaliknya, maka para putra-putri yang menjadi pewaris keturunan langsung dari pendiri dan para penegak utama keberadaan Mangkunagaran, wajib meneruskan kelestariannya sebagai suatu: Kewajiban Moral yang Agung kepada pada leluhur Mangkunagaran serta memikul tugas pengabdian sebagai kelanjutan dari perjuangan almarhum Sri Mangkoenagoro VIII, agar Mangkunagaran sebagai salah satu Sumber Budaya Jawa tetap mampu memberikan sumbangan dalam pembangunan budaya nasional secara nyata.
c. Para putraputri pewaris keturunan langsung dari Sri Paduka Mangkoenagoro VIII, yang merupakan salah seorang dari para penegak utama keberadaan Mangkunagaran telah secara bulat menetapkan Gusti Pangeran Hario Sudjiwo Kusumo, menjadi kepala keluarga Puro Mangkunagaran, serta menjalankan segala kewajiban dan memikul tanggung jawab atas segala tugas yang berada dalam wewenang Almarhum Sri Paduka Mangkunagoro VIII, baik hal itu menyangkut tata kehidupan dalam lingkungan Puro Mangkunagaran maupun mewakili dan bertindak untuk kepentingan dan atas nama Puro Mangkunagaran.
Selanjutnya dalam hubungan ini, putra putri berketetapn hati serta bertekad bulat guna menempatkan Puro Mangkunagaran, sebagai sumber penggalian-penggalian budaya Jawa serta merupakan sarana pengembangan selanjutnya sebagai satu bagian mutlak dalam pembangunan budaya nasional.