Oleh DR PURWADI,M.HUM
Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara – Lokantara
D. Angleluri Tradisi Luhur Mangkunegaran.
Pura Mangkunegaran berusaha nguri nguri budaya. Berkenaan dengan ungkapan ungkapan terlingkup dalam satu kerangka susunan rumusan seperti disebutkan pada butir 1 di atas, maka ‘ketiga pokok-pokok dasar fundamental’ yang tersusun sebagai pangkal tolak pada titik awal perikehidupan Mangkunagaran, telah memperoleh bentuk baru sebagai mewujudkan satu rekonstruksi dengan menyesuaikan situasi dan kondisi searah dan sejalan perubahan jaman.
Wilayah kekuasaan Praja Mangkunagaran telah ditiadakan namun fungsi dan peranan Puro Mangkunagaran sebagai salah satu sumber penggalian budaya Jawa yang diabdikan kepada pembangunan budaya nasional maka budaya leluhur Mangkunagaran menjangkau wilayah kehidupan budaya Nusantara.
Menjadikan Puro Mangkunagaran sebagai sarana pengembangan selanjutnya dari hasil penggalian budaya leluhur, serta memasyarakatkan akan menempatkan Puro Mangkunagaran sebagai salah satu pusat pelestarian budaya Jawa.
Kepala keluarga Puro Mangkunagaran merupakan pengageng dalam lingkup kehidupan Puro Mangkunagaran setelah ditiadakannya wilayah kekuasaan praja Mangkunagaran. Sebagai memetri dan ngleluri tradisi budaya leluhur, gelar dan sesebutan tersandang pada sikal bakal pengageng praja Mangkunagaran ‘kangge salajengipun’ yaitu KGPAA Mangkoenagoro, maka secara naluriah wajib disandang oleh Pengageng Puro Mangkunagaran satu dan lain selaku penerus keturunan langsung.
Ketiga pokok pokok dasar fundamental’ di atas itu, mewujudkan suatu bentuk keselarasan terhadap tuntutan perjuangan era baru peri kehidupan Mangkunagaran dalam satu kerangka masyarakat bangsa yang tengah melakukan pembangunan di segala bidang, pada saat pemerintah negara Republik Indonesia menjelang memasuki tahap tahap akhir periode menyelesaikan landasan pembangunan guna mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Titik awal peri kehidupan praja Mangkunagaran, yang jatuh pada tanggal 4 Jumadilakir 1682, maka tanggal 4 Jumadilakir 1920 akan jatuh bertepatan pada tanggal 24 Januari 1988.
Sejarah telah membuktikan bahwa peri kehidupan Mangkunagaran yang bertitik awal bertepatan dengan 4 Jumadil Akir 1682 telah berkembang dan menghasilkan karya karya budaya yang tetap menunjukkan kenyataan relevansinya di akhir abad XX ini, maka kiranya para kerabat besar Mangkunagaran patut menempatkan ‘saat’ tanggal 4 Jumadilakir 1682 tersebut sebagai suatu saat yang disakralkan, sejalan dan searah dengan sikap mental seluruh bangsa Indonesia yang menempatkan tanggal 17 Agustus 1945 sebagai suatu hari dan tanggal yang teramat sakral.
Sehubungan dengan kenyataan kenyataan sebagai terungkap pada butir-butir uraian di atas, maka sudah pada tempatnyalah apabila saat 4 Jumadilakir 1920 ditetapkan sebagai titik awal era baru peri kehidupan Mangkunagaran.
Dalam era baru yang demikian ini, maka peri kehidupan Mangkunagaran telah terjelma sebagai Puro Mangkunagaran. Sesuai dengan titik tolak pengertian yang demikian itulah kiranya, secara mudah dan sederhana mampu dipahami makna yang multi dimensional deri kata ‘Puro Mangkunagaran’ pada awal amanat ini.
KGPAA Mangkoenagoro ‘sapisan’ segera setelah terwujudnya realitas daripada ketiga pokok-pokok dasar fundamental itu, segera melakukan Upacara Sesaji Mahesa Lawung mengikuti secara naluriah tradisi yang sudah sejak lama melembaag dalam pemerintahn kerajaan di Jawa. Sesaji demikian terutama ditujukan untuk memanjatkan doa ke hadirat Yang Maha Kuasa, untuk memohon dilimpahkannya keselamatan dan kejayaan negara serta raja sebagai kepala negara pada jaman itu, serta anugerah kemurahan rizki bagi seluruh rakyatnya.
Dalam tradisi tersebut rakyat melakukan bersih desa sebagai mewujudkan terciptanya pangkal kesehatan yang menjauhkan dari segala bentuk penyakit serta sebagai melambangkan lenyapnya segala hambatan yang dapat menimbulkan segala malapetaka yang membuat sengsara kehidupan masyarakat luas.
Berkenaan dengan butir-butir tertera dalam pertimbangan pertimbangan telah disebutkan di atas, sudah jelas dan tegas bahwa:
GPH Sudjiwo Kusumo, selaku pengageng Mangkunagaran,
“Menjalankan segala kewajiban dan memikul tanggung jawab atas segala tugas yang berada dalam wewenang almarhum Sri Mangkoenagoro VIII, baik itu menyangkut tata kehidupan dalam lingkungan Puro Mangkunagaran maupun mewakili dan bertindak untuk kepentingan dan atas nama Puro Mangkunagaran.”
Rumusan demikian yang termuat pada kesepakatan bersama para putra-putri almarhum Sri Mangkoenagoro VIII, pada hakekat dasarnya menurut hukum menempatkan kedudukan GPH Sudjiwo Kusumo sebagai: Pemangku Jabatan (Waarnemer) Sri Mangkoenagoro VIII almarhum.
Sehubungan dengan itu, maka kami selaku sesepuh Mangkunagaran, memandang perlu untuk segera melakukan tindak lanjut atas langkah langkah dari para putra-putri almarhum Sri Mangkoenagoro VIII tersebut.