Oleh HENRY NURCAHYO
Dongeng Ande-ande Lumut sangat populer, khususnya, bagi masyarakat Jawa. Dikisahkan sebagai dongeng pengantar tidur atau menjadi hiburan anak-anak hingga remaja. Dongeng ini lantas menjadi nostalgia ketika kita dewasa. Tetapi tidak banyak yang menyadari bahwa dongeng Ane-ande Lumut sudah diakui sebagai warisan budaya dunia oleh Unesco. Bagaimana ceritanya?
Secara garis besar, dongeng tersebut mengisahkan seorang gadis berpenampilan kumuh dan buruk rupa bernama Kleting Kuning yang harus bersaing dengan para saudara tirinya yang cantik jelita dan berpenampilan mewah. Mereka berlomba merebut perhatian seorang pemuda bernama Ande-ande Lumut agar dipilih menjadi kekasihnya.
Ending dongeng ini sudah diketahui, pemuda tampan anak angkat Mbok Randa Dadapan itu justru memilih Kleting Kuning dibanding Kleting Abang, Kleting Biru, Kleting Hijau, yang kesemuanya sudah under estimate terhadap Kleting Kuning.
Ternyata, jatidiri Ande-ande Lumut yang sesungguhnya adalah seorang pangeran dari kerajaan Janggala bernama Raden Panji Asmarabangun. Sedangkan Kleting Kuning adalah kekasihnya yang hilang, yaitu Dewi Sekartaji alias Dewi Candrakirana, putri mahkota Kerajaan Panjalu atau Kadiri yang juga menyamar.
Pola cerita – pinjam istilah M. Dwi Cahyono-, integrasi – disintegrasi – reintegrasi itu juga terdapat dalam dongeng Keong Mas, Panji Laras, Enthit, Dewi Kotesan, Kethek Ogleng, Timun Mas dan sebagainya. Khusus Timun Mas ternyata ada banyak versi yang nanti akan dibahas tersendiri. Semua dongeng itu tadi adalah contoh-contoh Cerita Panji dalam bentuk dongeng. Jadi pola ceritanya selalu sama, yaitu Panji dan/atau Sekartaji yang menghilang, keduanya saling mencari, kemudian bertemu kembali, dan selalu happy ending.
Selain dalam bentuk dongeng, banyak sekali contoh Cerita Panji, seperti Hikayat Panji Semirang, Panji Angronakung, Panji Anggraeni, Remeng Mangunjaya, Panji Wasengsari, Joko Kembang Kuning, Pakang Raras, Putri Cilinaya, Polo Salaka, Wangbang Wideya, Jaka Bluwa, dan masih sangat banyak lagi.
Naskah-naskah cerita itu ditulis di atas kertas lontar atau juga kertas daluwang (dari bahan kulit kayu bernama Daluwang) dan tersebar di nusantara hingga negara-negara Asia Tenggara.
Di Perpustakaan Nasional (Perpusnas) saja terdapat 76 naskah (hampir separuhnya dalam kondisi rusak), di perpustakaan Leiden ada sekitar 200 naskah, di Thailand ada ratusan, juga di British Library yang juga ratusan naskah jumlahnya. Belum termasuk yang ada di perpustakaan Malaysia, Kamboja, Myanmar, serta tersebar di berbagai kraton yang ada di nusantara.
Cerita Panji berasal dari masa Kadiri di Jawa Timur abad ke-13, berkembang pesat dan menyebar ke berbagai daerah sering dengan zaman keemasan Majapahit 200 tahun kemudian. Cerita Panji menjadi “cerita nasional” zaman Hayam Wuruk hingga dipahatkan di belasan relief candi.
Cerita Panji dilakonkan dalam berbagai seni pertunjukan, juga menjadi bahan baku motif batik Cirebon, Bali dan Tuban. Karena itulah maka keberadaan naskah-naskah Cerita Panji lantas diakui oleh organisasi internasional bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan (Unesco) sebagai “Ingatan Dunia” atau Memory of the World (MoW) pada tanggal 31 Oktober 2017. Pencatatan sebagai MoW ini dilakukan secara bersama-sama oleh Indonesia, Malaysia, Kamboja, Belanda dan Inggris.
Hal ini diluar kelaziman MoW yang biasanya merupakan satu naskah utuh. Naskah asal Indonesia lainnya yang diakui oleh Unesco yaitu Kitab Negara Kretagama, I La Galigo,arsip-arsip VOC, arsip restorasi Borobudur, arsip Konferensi Asia Afrika (KAA), dan juga arsip bencana Tsunami di Aceh.
Jadi Cerita Panji bukan hanya milik Indonesia, apalagi hanya Jawa Timur.
Di Thailand malah sudah berkembang pesat dan masih bertahan sejak sekarang menjadi sumber inspirasi berbagai ekonomi kreatif, dilakonkan dalam seni pertunjukan kerajaan, naskahnya ditulis sendiri oleh Raja Rama I dan diajarkan di sekolah-sekolah hingga sekarang. Di Malaysia Cerita Panji identik dengan cerita Bangsawan sehingga dikenal dengan sebutan Hikayat. Kalau ada dua bangsawan yang besanan maka dikaranglah cerita Panji dengan pemeran calon mempelai laki-laki dan perempuan. Cerita Panji juga sangat populer di Bali yang disebut dengan Malat. Bahkan di Lombok ada daerah dengan nama Kediri, Gunungsari, Panji, dan sebagainya yang merujuk pada Cerita Panji.
Cerita Panji memang anonim, tidak jelas siapa penciptanya, kecuali beberapa nama yang dituliskan sebagai penggubah. Cerita Panji pada mulanya memang berupa sastra lisan, yang kemudian ditulis sebagai naskah, dan terus berkembang dalam berbagai bentuk.
Penyebaran Cerita Panji ke berbagar daerah dan negara lantas beradaptasi dengan budaya lokal. Misalnya di Thailand dikenal dengan Cerita Inau dan Bossaba. Inau dari kata Ino atau Inu (Kertapati), Bossaba adalah Puspa, Bunga, Sekar (-taji). Sedangkan di Kamboja disebut Cerita Eynao.
Jadi, kalau sekarang masih ada yang bertanya “apa itu Cerita Panji?,” maka jawabannya bisa berupa pertanyaan pula: “Pernah dengar dongeng Ande-ande Lumut?” Nah, itu adalah salah satu contoh Cerita Panji.
Masih belum paham? Baca saja buku “Memahami Budaya Panji” karya Henry Nurcahyo…