Akan tetapi tidak semua teman seangkatan Tina berada di jalur yang sama dengannya. Beberapa di antara mereka sudah pulang tanpa menuntaskan studi, bahkan sebagian lainnya menetap di Australia setelah tamat kuliah.
Di situlah, menurut Tina, letak titik lemah pemberian beasiswa dana otonomi khusus yang minim pengawasan serta evaluasi. Penerima beasiswa yang gagal merampungkan studi tidak dimintai pertanggungjawaban, misalnya dalam bentuk pengembalian biaya. Begitu pun mereka yang memutuskan tidak kembali ke Indonesia.
Penilaian Tina dikuatkan oleh Petrus K Farneubun, dosen Universitas Cenderawasih. Dikatakan pemberian beasiswa ini amat positif untuk meningkatkan sumber daya manusia, tetapi perlu dibarengi dengan akuntalibas.
“Sejauh ini kita tidak tahu sesudah mereka selesai apakah mereka kembali. Ada yang memang duduk di pemerintahan tapi ada juga yang boleh dibilang punya pekerjaan tidak sesuai dengan keahlian mereka,” jelasnya.
Selama belum ada data yang solid mengenai berapa jumlah mahasiswa yang dikirim, bidang yang diambil dan berapa yang kembali ke Papua, maka imbuh Petrus K Farneubun, skema beasiswa dana otonomi khusus tak bisa diukur hasilnya secara meyakinkan.
“Agak sulit kita bilang bahwa mereka sudah membawa peningkatan dalam pengertian ada perubahan yang signifikan terhadap pembangunan atau kinerja pemerintah dan lain-lain,” jelasnya kepada BBC News Indonesia.
Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Jayapura, Ronald Yaroserai tak memungkiri ada kelemahan dalam skema tersebut pada tahap awal, mengingat kabupaten itu tercatat yang pertama yang mengirim mahasiswa langsung ke luar negeri tanpa melalui pusat.
“Memang program ini menjadi evaluasi bagi program-program berikutnya”.
“Karena itu ketika pertama kali dikirim ke sana memang belum ada ikatan yang sangat kuat sekali terhadap mereka yang harus menyelesaikan pendidikan lalu pulang mengabdi kepada daerah. Itu pun dalam pasal-pasal tertentu di kontraknya tidak terlalu mengikat,” kata mantan guru asli Papua yang juga lulusan perguruan tinggi di Australia tersebut.
Lebih lanjut Ronald menjelaskan program pengiriman mahasiswa kini tak lagi ditangani langsung oleh pemerintah kabupaten/kota, melainkan tingkat provinsi dan pusat.
Yang pasti, tambahnya, pengiriman mahasiswa ke luar negeri amat bermanfaat untuk menggenjot kualitas sumber daya manusia di Papua.
“Pendidikan di luar sangat maju dan mereka punya fasilitas yang lengkap. Bukan saja maju tetapi akses-akses misalnya untuk buku, informasi dan akses teknologinya sangat luas dan mereka berjejaring,” katanya.
Di samping itu, mahasiswa dapat mengembangkan ide secara bebas tanpa sekat. Kesimpulan ini didapat berdasarkan pengalaman mereka yang telah kembali ke Papua.
“Misalnya, ada yang mengembangkan ide penulisan dalam latar belakang tertentu, kalau di negara kita lalu dianggap melenceng. Kalau di luar justru mereka bilang ‘itu kesempatan’ untuk membuka pikiran bahwa ada sisi-sisi lain yang perlu dilihat dari kemajuan atau keterbelakangan suatu daerah,” kata Ronald Yaroserai.
Kendati demikian, guna mengefektifkan skema beasiswa otsus, Petrus K Farneubun yang tengah merampungkan studi S3 di Belanda, menyarankan agar pemerintah membuat analisis kebutuhan mengenai bidang atau ilmu yang memang sangat dibutuhkan di Papua. Dengan demikian mereka dapat diserap di lapangan kerja setempat.
Banyak manfaat langsung yang dia dapat dengan berkuliah di luar negeri. Terutama adalah pemahaman perbedaan kebudayaan antara Papua khususnya dan Indonesia pada umumnya dengan Australia.
“Dengan memahami kebudayaan di sana, kita lebih bisa banyak berpikir positif dalam menerima keberagaman karena di Australia juga ada banyak orang dari negara-negara lain,” jelas Asna Kristina Krebu
“Saya lebih open minded (berpikiran terbuka) dalam menerima perbedaan dengan setiap orang atau teman-teman di kampus dalam perkuliahan setiap hari. Jadi keberagaman itu justru mengubah pola pikir, pola pikir kita lebih maju.”
Kata Tina, pengalaman positif itu punya dampak praktis dalam kehidupan sehari-hari di Papua yang kian majemuk. –BBC/dms