Kisah Ayesha Khan, Nestapa Penyanyi Alumni ‘Afghan Star’

Sulit untuk menjadi perempuan di Afghanistan akhir-akhir ini. Seorang penyanyi tidak akan bisa ditoleransi Taliban.” Foto BBC.

Oleh DIMAS SUPRIYANTO.

Sebaliknya, beruntung juga mereka lahir dan besar di Indonesia. Sukses meniti karir, mendapatkan penggemar, popularitas melambung tinggi di negeri kita tercinta. Menjadi bintang, yang dikagumi oleh seluruh anak bangsa.

Bayangkan – jika mereka lahir dan besar di Afganistan, dan hidup di tengah kelompok Taliban. Tak ada wajah cantik, rambut indah, dan seni suara di televisi kita. Semuanya haram : Nyanyi haram, keluar rumah haram, pamer rambut haram, tampil di panggung haram, bikin pertunjukan musik haram.

Nasib itulah yang menimpa Ayesha Khan atau Aisha Khan, artis penyanyi, yang memenangi kontes tarik suara “Afghan 2018” lalu, dan kini hidupnya berada dalam ancaman.

Setelah Taliban merebut kekuasaan, Ayesha Khan terpaksa meninggalkan rumahnya di Kota Kabul, keluar dari negara asalnya.

Tetapi selain itu – di atas segalanya – ia meninggalkan cita-citanya. Mimpi indahnya selama ini – yang sebagiannya telah menjadi nyata.

Sudah beberapa minggu Ayesha tinggal di sebuah apartemen satu kamar tidur di lokasi yang baru dan asing di luar Afghanistan. “Saya harus meninggalkan negara ini karena saya seorang perempuan dan seorang penyanyi.”

“Saya tidak meninggalkan tanah air saya karena saya seorang gadis Muslim
yang tidak mengenakan jilbab atau sepenuhnya menutupi tubuh,” katanya
kepada jurnalis BBC yang khusus menemuinya.

Pemahaman Taliban yang ekstrim ketat tentang Islam melarang musik dimainkan di atas panggung dan sebagian besar bentuk ekspresi artistik, kecuali yang bersifat religius.

Tetapi dalam kasus Ayesha, ancaman itu diperparah oleh interpretasi Taliban yang jauh lebih ketat lagi tentang peran perempuan di masyarakat modern.

“Taliban memaksa kami untuk berhenti dari profesi kami,” kata Ayesha.

“Sulit untuk menjadi perempuan di Afghanistan akhir-akhir ini, tapi seorang penyanyi tidak akan bisa ditoleransi Taliban.”

Selanjutnya : Tidak bisa berhenti bermusik.

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.