Pagi-pagi, Mira secara asertif, protes pada suaminya, Frans.
“Pernah nggak, aku menghina atau menertawakan penampilanmu? Kalau kamu pas sedang memilih kemeja yang warnanya nggak matching dengan warna jas dan sepatumu, aku cuma bilang ‘Lebih match kalau warnanya yang ini deh, coba cek di cermin’. Aku nggak pakai ngeledek kamu dengan kalimat ‘Ondel-ondel dari mana nih?’”
Suaminya diam.
Dari wajahnya terpancar kesadaran, bahwa dia telah salah. Tapi tak ada kata maaf terlontar. Frans memang lelaki yang tidak dididik oleh keluarganya untuk meminta maaf; melainkan diam dan tidak mencari alasan pembenaran jika telah berbuat salah.
Istrinya melanjutkan,
“Kasih kritik itu boleh. Tapi nggak usah dicampur dengan kata hinaan. Kalau kamu melakukan itu, siapapun lawan bicaramu, mereka akan mempertanyakan motifmu : Kamu ini mau ngasih masukan atau mau ngeledek? Itu beda jurusan.”
Suaminya tetap diam. Lalu berjalan keluar kamar. Rupanya, dia membuatkan kopi dan memanggang roti toast bagi istrinya selagi istrinya dandan. Hal ini dilakukannya sebagai ‘upaya diplomatik’ dan pernyataan menyesal.
Mira memahami ini. Tapi dia diam saja. Masih kesel.
Setelah mereka selesai sarapan dan Mira kelar mencuci piring, keduanya pergi ke kantor masing-masing dengan kendaraan sendiri-sendiri, setelah Frans mencium kening Mira, dan Mira mencium pipi Frans.
Walau sedang berantem pun, mereka tidak meniadakan gestur bahwa mereka saling mencintai.
Sorenya, sang suami sudah ada di rumah duluan, memanaskan rendang yang dibelinya entah di mana. Nasi sudah jadi di rice cooker.
“Holaaa… Aku bawa rendang, Sayang. Kamu nggak usah masak…”
Sambil melepas sepatu dan menaruh tas, si istri memandang menyelidik ke sekitar. Ada apa ini? Tapi tak ditemukan keanehan, tapi kok nada bicara suaminya riang mengajak makan malam…?
Mereka lantas makan sambil ngobrol ngalur-ngidul soal aneka rupa. Seolah tak ada masalah apa-apa.
Malamnya, menjelang tidur, sambil memeluk istrinya, Frans berbisik, “Kamu mau apa…?”
Mira menarik kepalanya dari dekapan Frans, memandang mata lelakinya dan mengulang pertanyaan itu, “‘Aku mau apa?’ Maksudmu gimana, kok tanya ‘aku mau apa’?”
“Iya, kamu pengen hadiah apa…”
Mira mikir. Aku nggak ulang tahun. Kemarin valentine juga sudah dinner berdua. Ini juga bukan anniversary pernikahan.
“Hadiah? Ada acara apaan sih?”
“Lho memangnya hadiah itu perlu acara ya?” tanya Frans sambil memeluk semakin erat dan mendekapkan kepala istrinya kembali ke dadanya. Wajahnya malu.
Istrinya langsung ingat…! Ooooh dia merasa bersalah karena ngeledek aku tadi pagiiii…. Hahaha….
“Iya deh. Aku mau laptop Macbook Pro terbaru…..” Mira terkikik.
Frans menggelitik dan dengan tertawa lepas berseru “Gila…! Harganya 25 juta itu sayaaang…! Dasar istri pengeretan..!”
“Eeeh, eh..! Mulai menghina lagi ya…! Tambah hadiahnya! Cincin berlian! Hahahaha…”
“Dasar Pengeretan!”
“Dasar Tukang menghina!”
Keduanya larut dalam canda.
Rumah tangga yang baru dibina dan masih dalam proses saling menyesuaikan diri itu, sekali lagi mengalami transformasi :
Sang istri tetap asertif… suami belajar memperbaiki kesalahan dengan hadiah (karena belum sanggup mengucap maaf)… Sang istri menjadi lebih toleran dengan ‘gaya humor’ suami yang bernada bully… Namun sang suami juga berusaha memoles celetukannya untuk nggak kelewatan lagi.
Begitulah kalau pernikahan dijalankan oleh dua individu yang sudah ‘selesai’ dengan egonya… atas dasar cinta… dan ditopang kemapanan finansial.
Nggak ada drama.
“Tapi mbak, sampai 2 tahun kami menikah, dia tak juga bisa mengucapkan kata ‘maaf’ lho!”
curhat Mira padaku.
“Hasil parenting…” ujarku angkat bahu. “Ya begitu itu. Asertif dan nyalimu kan juga hasil parenting. Pasti perlu waktu yang lama sekali bagimu, untuk bisa jadi perempuan yang manutan, nggak protas-protes dan bisa mengabaikan tingkah-polah pasanganmu yang suka meledek-menghina kan?”
Aku tak mendengar respon apapun dari seberang sana. Kuberi waktu. Aku pun diam.
“Aku nggak bisa dipaksa menjadi ‘bukan aku’. Tapi aku bersedia terus memperbaiki diri, agar jadi aku yang lebih baik dari aku yang sebelumnya…” akhirnya Mira berkata.
“Kurasa, demikian juga dengan Frans. Dia tidak langsung meminta maaf; melainkan memperbaiki dirinya. Tentu dengan cara yang dia sanggup… Kalau kalian tetap membangun suasana yang nyaman diantara kalian, lama-lama Frans akan merasa ‘aman’ untuk mengucap ‘maaf, aku memang salah’…. Kebiasaan yang luput terdidik di era parenting, akan perlu dididik di era pernikahan.”
Itulah esensinya relationship : saling membangun diri menjadi individu-individu yang lebih baik.
CATATAN :
Tentu, tidak termasuk perilaku destruktif dan melukai seperti KDRT, narcisist, patological lying, gaslighting dan manipulative, ya. Yang model begini ini, sudah masuk perkara kriminal (khusus KDRT) dan masalah psikologis yang perlu ditangani oleh profesional (psikolog, hipnoterapist dll), jika yang bersangkutan cukup waras untuk menyadari ada yang salah pada dirinya.
( Nana Padmosaputro )