Kisah Para Pencari Kayu Bakar

Pencari kayu bakar di Gunung Manglayang, Cibiru, Bandung – foto Erry Amanda.

oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI

DENGAN bilah-bilah golok di tangan, beberapa orang wanita tua dan paruh baya bersijingkat masuk hutan, di kawasan perbukitan pinggir aliran sungai di Kampung Jakung Pasar, Desa/Kelurahan Cilowong, Kecamatan Taktahan di Kota Serang, Banten. Masih ada hutan di daerah kota? Ya, ada. Di kaki perbukitan Gunung Pinang, tak jauh dari lokasi markas Grup I/Parako Kopassus TNI Angkatan Darat.

Buat apa para wanita itu masuk hutan sambil menjinjing golok tebas? Hendak berburu, kah? So pasti. Tapi bukan berburu ular atau satwa liar lainnya, melainkan untuk berburu dahan dan ranting tua di rimbun hutan yang kadang juga bersisihan denngan ladang dan kebun warga. Ranting tua lapuk yang ambruk ke lantai hutan digoyang angin, atau karena memang sudah waktunya patah dan sangsai…

Dengan cekatan tangan para wanita itu memunguti kayu-kayu sampah alam tersebut. Menebas mana yang perlu ditebas. Memotong dan memotek seukuran yang diinginkan, dikumpulkan (dibaringkan atau didirikan) di tempat agak terbuka, lalu bergerak lagi mencari kayu-kayu mati lainnya, menyusun di tumpukan yang ada, mengikat dengan tali bambu atau akar hutan yang didapat, membopongnya pulang sebagai kayu bakar.

Aktivitas para pencari kayu bakar ini saya saksikan (lagi) pada siang menjelang sore Kamis silam, saat ikut Istri dan teman-temannya ke kebun yang tengah mereka ‘garap. bersama, di pinggir hutan dimana para pencari kayu bakar, warga kampung tak jauh dari situ, muncul melakukan aktivitas lama – tradisi mencari kayu bakar — bahan membuat perapian, untuk masak-memasak.

Ya, sudah lama saya tak melihat aktivitas ini. Bukan cuma karena saya manusia kota dalam arti sebenarnya, tapi bisa jadi juga karena pandemi Covid-19 yang merentang sekian lama, menjadikan saya setuju untuk lebih memilih tinggal dan bekerja dari rumah saja. Bertahan di rumah saja. Tak keluar rumah, apalagi blusukan ke hutan dan gunung di ujung kampung, bila tak benar-benar perlu, ha…ha…ha…!

Dapur tradisional di Cisitu – Kesatuan Adat Kasepuhan Banten K.dul, Lebak Banten – Foto Heryus Saputro Samhudi.

Kayu bakar punya peran penting dalam sejarah kuliner Nusantara. Dari masa ke masa, dapur-dapur rumah tangga di Indonesia, yang melahirkan ragam kuliner tradisional yang khas, selalu diasapi kayu bakar. Bahkan saat karosin / minyak-tanah sudah jadi bagian dari sembilan bahan kebutuhan pokok, sampai kemudian kompor listrik dan gas (dengan kredo ramah lingkungan) hardir mendominasi kebutuhan energi masyarakat.

Namun kebutuhan dapur dunia akan kayu bakar, yang asap hasil bakarnya dipercaya mampu lebih melezatkan masakan, tidak benar-benar hilang, di Indonesia ataupun di luar negeri. Resto-restro tradisional-modern di Jepang misalnya, banyak yang masih menggunakan kayu bakar untuk mematangkan ragam kuliner sajikannya. Budaya grill dan barbeque, juga masih menggunakan kayu bakar atau charcoal serbuk kayu.

Masyarakat kota di Indonesia, baik untuk alasan praktis maupun untuk ikut mengurangi kadar percemaran udara dampak emisi karbon yang berlebih, memang tak lagi kenal kayu bakar. Tapi tengoklah di kampung-kampung, nun jauh dari peradaban listrik dan microwave, banyak rumah tetap bertahan dengan dapur konvensional berbahan bakar kayu atau arang, sebagaimana resto-resto di Pasar IkanTsukiji di pinggir Tokyo.

Potongan kayu bakar siap diangkut ke kota  – Foto Heryus Saputro Samhudi.

Untuk keperluan masak-memasak cara lama itulah (atau karena tak punya kompor gas, sedangkan kayu bakar melimpah dan gratis di alam? Entahlah) para wanita Kampung Jakung Pasar masuk hutan memungut limbah ranting ragam pohon kayu, memboyong pulang ke rumah, menjemurnya di para-para atau dijejerkan di dinding rumah, dijaga dari cipratan air dan hujan, dibakar bila dibutuhkan.

Ssst…!  Kamu ingin makan apa malam ini?

Kusiapkan Panggang Breadfruit dan Tiram Sungai,

Nasi-Sereh-Kunyit-Kelapa-Bakar

plus Wedhang Jahe Palm Sugar… ***  

02/08/2021 Pk 11:54 WIB

Avatar photo

About Heryus Saputro

Penjelajah Indonesia, jurnalis anggota PWI Jakarta, penyair dan penulis buku dan masalah-masalah sosial budaya, pariwisata dan lingkungan hidup Wartawan Femina 1985 - 2010. Menerima 16 peeghargaan menulis, termasuk 4 hadiah jurnalistik PWI Jaya - ADINEGORO. Sudah menilis sendiri 9 buah buku.