Kisah Si Polim, Juragan Daun Singkong

Selalu ada daun singkong rebus di rumah makan Padang. Juga ibu ibu menyukainya sebagai sayur. Maka pasar selalu menyerapnya. “Kami petik daun singkong tiap hari selepas tengah malam hingga Subuh. Targetnya 400 gebong tiap hari, tiap gebong terdiri dari sepuluh ikat,” kata Polim.

Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI

PENGUSAHA kok daun singkong? Padahal dulu kau wartawan ‘istana’. Bebas motret para konglomerat, sementara fotografer lain nggak boleh masuk ke ruang pertemuan itu. Udah enak-enak seperti itu, eh…kok malah alih profesi jadi juragan daun singkong?” celetuk seorang teman sambil tertawa, gurau-tawa antarteman yang disambut hangat oleh Khian Djo Polim sosok yang di’tembak’nya.

Polim tidak menyangkal bila hingga 12 tahun silam dia adalah wartawan-foto Majalah Sinar yang dekat ‘istana’, mudah masuk ke ruang-ruang spesial sampai kemudian dia merasa cukup jadi wartawan dan alih profesi jadi petani di atas 12 hektar lahan yang dipercayakan untuk dia kelola di baratdaya Jakarta, Desa Mekarsari, Rumpin, Kabupaten Bogor Jawa Barat.

Belum sekujur areal digarapnya bahkan separuhnya pun belum. Di situ Polim menanam ragam sayur-mayur, bumbu dapur dan pohon buah pilihan seperti kelapa-thailand, klengkeng, jeruk besar dan baby-sitroen, nangkadak alias nangka-cempedak dan banyak lagi. “Pokoknya saya pilih produk kebun yang banyak dicari pasar dibutuhkan masyarakat tiap hari,” ucap Polim, kalem.

Survey pasar dilakukan Polim sebelum menanam, disamping mempertimbangkan ‘sifat’ tanah lahannya dan jenis tanaman apa kiranya yang cocok ditanam di situ, plus pengetahuan dasar teknis perawatannya. Dengan begitu, apa yang ditanam bisa menghasilkan panen pada waktunya. Bumbu dapur, buah segar dan berjenis sayuran, biasa dia panen dan bawa ke pasar.

Polim dan isterinya Nia Hwang. Tak bisa mengandalkan hidup dari media, banting setir menjadi petani dan mengolah kebon. Daun singkongnya kini jadi primadona. Foto dokumentasi Heryus Saputro Samhudi.

Dari amatannya, ada komoditas sayur-mayur yang diminati masyarakat, yakni produk dari tanaman singkong (Manihot ulitissima) yang juga dikenal sebagai ubi kayu, ketela pohon, pohung, budin, kasubi atau kasbi. Perdu tropika dan subtropika dari suku euphorbiaceae asal Amerika Tengah yang sejak 3 abad lalu jadi ‘warga’ Indonesia, ini banyak ditanam Polim di kebunnya.

Polim tidak menanam singkong untuk dipanen umbinya, sebagai bahan tepung tapioka atau dijual sebagai bahan pangan sumber karbohidrat alternatif pengganti beras. Dengan sistem tanam berjenjang, Polim menanam singkong di 5 hektar lahan hanya buat dipanen daunnya tiap hari, sementara umbi singkong dibiarkan ‘gabes’ sebagai akar di dalam tanah.

Buah-buahan, sayur-mayur, bumbu dapur dipanen dan bawa Polim ke pasar (atau pembeli datang langsung ke kebun) tiap hari. “Tapi primadonanya adalah daun singkong,” kata Polim. Didukung istrinya, Nia Hwang, serta 8 orang pekerja harian. “Kami petik daun singkong tiap hari selepas tengah malam hingga Subuh. Targetnya 400 gebong tiap hari, tiap gebong terdiri dari sepuluh ikat,” kata Polim.

Ibu-ibu PKK Mekarsari binaan Kades Hendrick

Itulah jumlah yang diminta pedagang utama langganannya di pasar. Tapi tak jarang di hari-hari tertentu mermintaan meningkat, hingga Polim harus cari tambahannya dengan membeli di halaman rumah tetangganya. Hasil panen harian diikat, dinaikkan dan ditata di bak truk, dan sebelum pukul 08:00 wib diangkut ke pasar dimana pedagang utama langganannya menunggu.

Daun singkong pernah disepelekan orang kota, dipandang cuma sebagai limbah pertanian yang cuma pantas jadi pakan ternak, sampai kemudian para ahli mengungkap banyak gizi dan mineral berguna bagi kesehatan terkandung dalam daun singkong, dan…para ibu rumah tangga, pemilik warung nasi padang warung bahkan resto hotel bintang lima setia menanti kedatangan minitruck daun singkong Juragan Polim.***

03/07/2022 PK 15:45 Wib.

Avatar photo

About Heryus Saputro

Penjelajah Indonesia, jurnalis anggota PWI Jakarta, penyair dan penulis buku dan masalah-masalah sosial budaya, pariwisata dan lingkungan hidup Wartawan Femina 1985 - 2010. Menerima 16 peeghargaan menulis, termasuk 4 hadiah jurnalistik PWI Jaya - ADINEGORO. Sudah menilis sendiri 9 buah buku.