Seide.id – Saat itu Willemien Rieken baru berusia sembilan tahun, masih gadis cilik, ketika suatu siang ada ratusan pesawat terbang secara mendadak melintas di atas rumahnya.
Kampungnya bernama Oosterbeek, sekitar lima kilometer sebelah barat kota Arnhem, Belanda.
Rieken kemudian melihat ribuan payung raksasa bertebaran di angkasa, tersebar menghiasi langit dari ujung ke ujung.
Orang kampung berteriak kegirangan. Pasukan pembebas tiba.
Lalu suara tembakan menyalak dinmana-mana. Semakin lama semakin sengit.
Market Garden
Ketika itu 17 Sepetember 1944, hari pertama Operasi Market Garden digelar.
Ada 35.000 pasukan Inggris, Polandia, Amerika Serikat (AS), Kanada, dan Selandia Baru, yang diterjunkan untuk membebaskan Negeri Belanda dari tangan tentara Nazi-Jerman.
Pasukan ini diterjunkan dengan tujuan mengamankan semua jembatan besar, mulai darselatan Belanda hingga ke bagian tengah, di Arnhem.
Sayangnya, perancang serangan tidak memperhitungkan dengan pasti berapa banyak kekuatan musuh.
Pasukan Jerman ternyata berkekuatan lebih dari 100.000 orang atau tiga kali lipatnya. Jerman bahkan memiliki satu divisi pasukan berkendaraan lapis baja nan kuat yang menjaga Belanda.
Jadilah ini ajang pertempuran sengit yang tidak seimbang. Lebih tepatnya, ladang pembantaian.
Sembunyi
“Rieken… naar kelder! Vlug!” perintah ayah Rieken, yang memintanya untuk segera sembunyi di ruang bawah tanah, yang umum terdapat di setiap rumah di Belanda.
Kelder ini multi fungsi. Biasanya untuk menyimpan bahan makanan. Ada rumah yang memiliki tungku penghangat di dalam kelder, ada juga yang tidak.
Dalam keadaan darurat di musim dingin yang ekstrem, warga bisa ngariung di dalam kelder.
Saat kondisi sedang terjadi perang sengit seperti saat itu, kelder merupakan tempat paling aman untuk berlindung.
Lima hari
Begitulah, selama lima hari berikutnya keluarga kecil yang terdiri dari Rieken serta ayah, ibu, dan seorang adik perempuan Rieken terus bersembunyi di kelder.
Hari keenam pintu kelder dibuka paksa. Mereka ketakutan. Tentara Jerman masuk! Ayah Rieken lalu diinterogasi. Mereka bertanya soal pasukan Inggris.
Pemilik toko pakaian di Oosterbeek itu tentu tidak tahu. Ia menjelaskan bahwa selama lima hari terus sembunyi di dalam kelder.
Pasukan Jerman pergi.
Esoknya terjadi pertempuran lebih sengit dan keluarga kecil itu terpaksa kembali bersembunyi.
Mayat
Setelah pertempuran reda, warga Belanda saling memberi kabar bahwa pasukan bantuan lebih besar telah datang dan Oosterbeek berhasil dikuasai. Tentara Jerman mundur.
Rieken dan keluarganya lalu keluar dari kelder. Mereka memeriksa kerusakan rumah.
Di halaman rumah, ayah Rieken menemukan kejutan mengangetkan: ada empat mayat tergeletak di halaman.
Salah satunya terluka tembak parah dari punggung hingga tembus ke dada. Seragamnya banjir darah.
Sebagai anak-anak, Rieken merasa iba kepada prajurit yang terluka tembak mengenaskan. Itulah yang terekam di dalam otaknya.
Siapa dia? Orang ini, siapapun dia, telah bertarung nyawa demi membebaskan kampung halamannya dari tangan penjajah.
Prajurit yang telah gugur ini orang jauh! Dari Inggris, dari seberang lautan, Rieken tidak tahu asal usulnya, juga tidak mengenalnya. Sama sekali.
Rieken lalu mengikuti di mana Si Pembebas ini dimakamkan dan mencatat namanya baik-baik.
Dia bernama William Edmond, anggota pasukan penerjun Inggris, yang belakangan diketahui telah gugur karena tembakan penembak runduk (sniper) di punggungnya hingga tembus ke dada.
Edmond gugur pada 17 September 1945 dalam penerjunan pertama. Mayatnya tidak langsung ditemukan karena keluarga Rieken bersembunyi di dalam kelder.
Banjir darah di tubuhnya dan telah mengering, itulah yang direkam dengan baik oleh ingatan seorang bocah cilik.
Setia
Tahun berikutnya, 1945, ketika 17 September tiba, Rieken mengunjungi makam William Edmond. Ia membawa bunga segar dan berdoa dengan khusuk di makamnya.
Lamat-lamat mulutnya mengucapkan terima kasih berkali-kali.
Tanpa terasa, setiap 17 September tiba, Reiken dengan setia menabur bunga di makam Edmond. Tahun demi tahun.
Ia selalu hadir di makam. Bahkan, ketika Taman Makam Pahlawan telah dipugar dan nisannya diganti lebih bagus, ia tetap mengunjungi Edmond.
Dan, ketika Rieken difoto pada 2019, sebelum pandemi, usianya ketika itu sudah 84 tahun. Tubuhnya sudah rapuh, ia mudah lelah, namun ia tetap memaksakan diri untuk mengunjungi makam Edmond.
Rieken pernah mencari tahu asal usul Edmond. Menurut catatan arsip ia berasal dari Musselburgh dekat Kota Edinburgh, Inggris.
Rieken juga sempat menelusuri keluarganya, namun mengalami kebuntuan.
Edmond benar-benar sendiri.
Bagi Rieken, sosok Edmond sangat luar biasa. Ia telah berkorban harta yang paling berharga yakni nyawanya sendiri!
“Saya sama sekali tidak mengenalnya, yang dapat saya lakukan adalah mengenang pengorbanannya dengan mendatangi makamnya dan tabur bunga di sana. Saya berutang hidup karena dia. Terima kasih sekali,” tutur Rieken lirih.
(Gunawan Wibisono)
Kesaksian Jurgen van de Coolwijk, warga Berghem, Belanda, “Kami-keluarga Belanda- mengadopsi 12 makam Pasukan Pembebas, yang tersebar dari Belgia hingga Belanda. Mereka prajurit dari Inggris, Polandia, Amerika, Kanada, dan Selandia Baru. Setiap tahun kami rutin menziarahi makam mereka. Menabur bunga dan berdoa di sana, untuk mengenang mereka.”