Kisah Zia, Tenaga Penerjemah Afganistan yang Masuk ke AS

Seide.id – Saat pasukan Amerika Serikat (AS) bertugas di Afganistan, mereka menggunakan tenaga-tenaga lokal sebagai penerjemah, pemandu jalan, maupun asisten untuk berbagai keperluan. Jumlahnya ribuan.

Salah satunya adalah Zia Ghafoori, 37 tahun. Empat belas tahun Zia bekerja menjadi penerjemah. Sebelum pasukan AS datang, ia memang guru bahasa Inggris di Afganistan, sehingga soal bahasa tidak menjadi masalah baginya.

Saat mulai menarik diri dari Afganistan, AS memang berjanji.kepada para tenaga lokal bahwa mereka bisa pindah ke AS beserta keluarga mereka. Itu sebagai imbal jasa atas dedikasi mereka bekerja untuk Amerika selama ini.

Visa khusus

Pada 2008, Kongres AS membuat program khusus untuk para penerjemah di Afganistan maupun di Irak. Program ini bernama Visa Imigran Khusus, semacam kemudahan bagi para tenaga yang pernah bekerja bagi Amerika. Banyak yang mendaftar. Ada juga orang-orang yang memilih tetap tinggal. Pendaftar ada 50.000 orang dan prosesnya ternyata tak semulus yang dijanjikan.

Visa Zia sendiri baru bisa tembus setelah enam.tahun menungggu. Enam tahun. “Padahal data base saya, istri, dan tiga anak kami sudah lama ada di Amerika,” kata Zia kepada BBC. Ia bingung mengapa harus menunggu demikian lama.

Pada 2014 akhirnya keluarga ini bisa terbang ke AS. Ia membawa beberapa tas berisi pakaian, dengan tiket pesawat seharga 6.500 dollar AS yang ia dibeli sendiri.

Sampai di AS ternyata tak ada sambutan apa-apa, juga tak ada pengarahan apapun. Keluarga ini dibiarkan menggelandang tak tentu arah.

Agaknya program imbal jasa ini hanya sebatas sampai pintu masuk. Selebihnya,  tak ada jaminan dan kepastian.

Setelah sempat mengembara dan tinggal di hotel murah dari sisa uang yang ada, akhirnya Zia mendapat arahan untuk menuju rumah penampungan di Mannassas, Virginia.

Dan, ternyata rumah itu adalah rumah penampungan untuk kaum tuna wisma! Tentu saja Zia marah, itu di luar bayangannya. “Bagaimana anak-anak saya bisa tumbuh dalam lingkungan begini?” ucap Zia.

Mereka tak memiliki pilihan, juga tak bisa pergi ke mana-mana. Anak-anak Zia, yang masih kecil, jadi ketakutan dan kebingungan. Setiap hari mereka menanyakan sanak famili yang mereka tinggalkan di Afganistan dan selalu bertanya kapan mereka bisa pulang.

Bekas kapten

Kepepet, Zia pun akhirnya menelepon kaptennya, bekas komandan tempatnya dulu bekerja. Ia menceritakan semua masalahnya dan di 7mana ia kini berada.

“Ia marah sekali ketika tahu kami telantar di Virginia. Kapten langsung menjemut kami dan membawa ke rumahnya di Carolina Utara,” tutur Zia.

“Kapten bilang,” tutur Zia lagi, “Ini rumahmu. Selama kamu mau tinggal di sini, silakan.”

“Saya tak akan melupakan budi baik kapten saya ini,” kata Zia.

Perlahan Zia mulai mendapat pekerjaan, di perusahaan konstruksi, lalu bekerja sambilan di toko swalayan.

Mereka kini bisa pindah ke sebuah apartemen milik sendiri di Charlotte, Carolina Utara.

Zia masih mengkhawatirkan keselamatan ribuan tenaga penerjemah yang masih ada di Afganistan (Foto-foto dok. BBC)

Keempat anak Zia saat ini sudah bisa berbahasa Inggris dengan fasih. Tahun lalu Zia, istrinya, dan ketiga anak mereka, yang sudah dewasa, telah mengambil sumpah sebagai warga negara AS.

Anak bungsu mereka, kini enam tahun, yang lahir di Amerika, malah sudah lancar berbahasa Inggris lengkap dengan aksen selatan yang khas.

Dalam semua keterbatasan yang ia miliki, Zia bersyukur sekali dengan keadaannya saat ini. Setidaknya anak-anaknya bisa pergi ke sekolah dengan tenang dan istrinya dapat melakukan kegiatan apapun tanpa rasa khawatir.

Zia, yang pernah ikut bertempur melawan Taliban pada 2008 dan mendapat medali Purple Heart, mengkhawatirkan kawan-kawannya yang masih bertahan dan tinggal di Afganistan. Beberapa waktu lalu terdengar kabar seorang tenaga penerjemah yang dahulu  bekerja untuk Amerika telah dieksekusi Taliban.

“Taliban masih membunuhi orang-orang yang tidak bersalah, tak ada perubahan apa-apa,” ucap Zia.

Presiden AS, Joe Biden, memastikan 11 September 2021 akan menjadi batas akhir bagi semua pasukan AS untuk meninggalkan Afganistan.

Setelah 20 tahun perang melawan Taliban, menghabiskan anggaran milyaran dollar AS, dan ribuan tentara AS gugur, negara adi daya itu kini pergi begitu saja. Pasukan pemerintah Afganistan kini tinggal sendirian, sementara pasukan Taliban sedikit demi sedikit mulai memperluas wilayah kekuasaannya. (gun)

Avatar photo

About Gunawan Wibisono

Dahulu di majalah Remaja Hai. Salah satu pendiri tab. Monitor, maj. Senang, maj. Angkasa, tab. Bintang Indonesia, tab. Fantasi. Penulis rutin PD2 di Facebook. Tinggal di Bogor.