Jendral TNI Purn. Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan (kiri) dan Adnan Topan Husodo Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW).
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
SAYA berada di antara mereka yang berharap agar peperangan di antara ICW dengan Jendral. TNI. Purn Moeldoko, berlanjut. Biar ada kejelasan. Terlepas apakah saya tidak punya kawan di ICW dan tidak kenal dengan Jendral Moeldoko, khalayak perlu tahu duduk perkara yang sebenarnya. Biar lebih gamblang.
Kenyataannya, memang ada pejabat yang memanfaatkan masa pandemi untuk keuntungan pribadi. Dan ada juga LSM yang galak tapi asal mengumbar tudingan. Rakyat perlu kejelasan apakah itu benar, ada faktanya, atau cuma gertakan. Tudingan kosong.
LSM Indonesia Corruption Watch (ICW) menuding dugaan keterlibatan Moeldoko dalam ‘promosi’ Ivermectin sebagai ‘obat’ Corona atau COVID-19. Nama Moeldoko, yang kini menjabat Kepala Staf Kepresidenan disebut dalam temuan ICW yang dipublikasikan 22 Juli 2021 lalu lewat situs resminya, dalam artikel yang berjudul ‘Polemik Ivermectin: Berburu Rente di Tengah Krisis’.
“Hasil penelusuran Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan dugaan keterkaitan anggota partai politik, pejabat publik, dan pebisnis dalam penggunaan obat Ivermectin untuk menanggulangi COVID-19. Polemik Ivermectin menunjukkan bagaimana krisis dimanfaatkan oleh segelintir pihak untuk mendapat keuntungan,” demikian tulis ICW mengawali penjelasannya.
ICW mengaku menemukan potensi rent-seeking dari produksi dan distribusi Ivermectin. Praktik itu, menurut ICW, diduga dilakukan oleh sejumlah pihak untuk memperkaya diri sendiri dengan memanfaatkan krisis kesehatan. Selain itu, “ICW ikut menemukan indikasi keterlibatan anggota partai politik dan pejabat publik dalam distribusi Ivermectin,” ujarnya.
Berdasarkan penelitian selama satu bulan, ICW melihat keterkaitan PT Harsen Laboratories dengan sejumlah elite politik di Indonesia, salah satunya Moeldoko.
Itu tuduhan yang sangat serius. Di negara yang tegas hukumannya, pelaku yang memanfaatkan krisis pandemi untuk keuntungan pribadi, layak dihukum gantung. Tidak bermoral, tidak beradab.
Pihak Moeldoko tak terima dengan tudingan itu dan mengirim somasi dan mengancam akan melaporkan ICW ke polisi. Hal itu disampaikan oleh pengacara Moeldoko, Otto Hasibuan. ICW diberi waktu 24 Jam untuk minta maaf ke Moeldoko,
ICW bereaksi dengan berdalih, pihaknya punya mandat mengawasi pejabat publik. Sebagai organisasi masyarakat sipil, Indonesia Corruption Watch (ICW) memiliki mandat untuk mengawasi pemerintah. Hal itu disampaikan Koordinator ICW Adnan Topan Husodo dalam menanggapi somasi yang dilayangkan oleh Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko.
“Termasuk di dalamnya para pejabat publik, sehingga yang kami lakukan berada di mandat itu,” ujar Adnan, saat dihubungi awak media, Kamis (29/7/2021) malam.
Otto Hasibuan menjawab, siapa yang memberi mandat? “ICW dapat mandat dari siapa sehingga berwenang mengawasi pemerintah? Semua warga negara berhak melakukan pengawasan. Tetapi jangan dengan dalih pengawasan bisa melakukan fitnah dan pencemaran nama baik,” kata Otto, Sabtu (31/7/2021).
Dia mengaku mendukung partisipasi warga dalam mengawasi pemerintah. Meski demikian, dia meminta tidak ada fitnah saat menyampaikan kritik.
“Tidak berarti bebas melakukan fitnah karena kita negara hukum. Selama ini Pak Moeldoko sering dituduh macam-macam,” ucapnya. Dia kemudian mengungkit soal tuduhan dugaan kaitan Moeldoko dengan kasus Jiwasraya dan ASABRI. Otto menyebut Moeldoko tak langsung melaporkan tuduhan itu ke polisi.
“Dalam kasus Jiwasraya dan ASABRI, apa yang disampaikan ICW bukan pendapat, tetapi fitnah, dan Pak Moeldoko tidak sekonyong-konyong melaporkan ICW, tetapi memberikan kesempatan untuk membuktikan tuduhannya, terutama tuduhan Pak Moeldoko berbisnis beras,” ucapnya.
Otto Hasibuan, kuasa hukum Moeldoko, meminta ICW membuktikan tuduhan soal keterkaitannya dengan produsen Ivermectin, PT Harsen Laboratories. Menurut dia, tidak ada fakta yang menunjukkan bahwa Moeldoko mempromosikan obat yang diproduksi PT Harsen Laboratories itu.
LSM menuduh pejabat terlibat bisnis, memburu rente sudah biasa. Memang ada kejadiannya. Pejabat menuduh LSM memeras juga sudah biasa. Memang banyak yang melakukan itu.
Yang umum terjadi keduanya akhirnya berdamai, cuma saling teriak teriak. Heboh di media. Akhirnya tahu sama tahu, boleh jadi damai, “86”, bagi bagi hasil korupsi, rampokan, saling menutupi aib. Rakyat dibodohi.
Karena itu, saya berharap kasusnya dibuat transparan, terang benderang.
Saya berharap ada yang dihukum dan syukur syukur masuk penjara. Gak penting yang mana, Jendral Purnawirawan Moeldoko atau ICW. Buat pembelajaran.
Jadi pejabat jangan mudah digertak dan keder menghadapi tudingan LSM. Harus berani tegas.
Sebaliknya, jadi LSM jangan asal nuduh, dan nyebar fitnah atas nama pengawasan dan kritik. Dan diam diam dipakai alat untuk memeras dan kibar kibar bendera.
Karena itu, kita menunggu kelanjutan perang tudingan di antara ICW dan Moeldoko. Karena sudah tersebar ke publik. Khalayak ramai.
Kalau ujungnya berakhir damai, hilang diam diam, layak dicurigai mereka ; dua dua pihak sudah “86”. Tahu sama tahu. Sama sama senang. Rakyat dan khalayak gigit jari. ***