Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI
SUATU Minggu sore di tahun 1972, saya diajak Bang Teguh Esha (almarhum) mampir ke rumah sohibnya di Jalan Mataram, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, nggak begitu jauh dari rumah sastrawan sekaligus ulama Buya HAMKA di pingir Masjid Agung Al-Azhar. Obrol punya obrol di bawah pohon manga teras rumahnya yang adem, Bang Teguh nyeletuk: “…mong-ngomong, BSA ente giname bakarnye?”
BSA adalah merk sepedamotor (selain Norton, BMW, Harley Davidson, Ducatti, Mobilette, Lamcinno. Vespa) yang banyak dimiliki anak Jakarta tempo itu, sebelum moda transportasi dan alat ‘nampang’ pemiliknya itu digeser sepedamotor CBU/CKD merk DKW, Lambretta, Suzuki, Honda dan lainnya. “…giname bakarnye” yang dimaksud Bang teguh adalah Bahasa Prokem untuk “…gimane kabarnye” alias “bagaimana khabarnya”,
Seperti tidak mau kalah dengan Bang Teguh (atau karena di depan saya yang diperkenalkan Bang Teguh sebagai anak-jalanan Pasar Majestic, hihihi…!), si sohib menjawab pertanyaan Bang Teguh juga dengan Bahasa Prokem yang saat itu mulai banyak digunakan oleh kalangan (remaja dan pemuda) di luar komunitas anak-jalanan atau anak-pasar. “Duah dilego. Ogut tubuh dokat,” katanya terbata-bata.
Si teman di atas ingin bilang bahwa sepedamotor BSA “Udah dilego” alias sudah “dilego” atau “dilepas” atau “dilempar” alias dipindahtangankan ke orang lain” karena “Ogut” alias “Gua” atau “gue” tubuh (butuh) dokat (duit,) alias uang. “Jadi, itu BSA benar-benar udah Abang, lego, ya…?” tanya saya kepada temannya Bang Teguh. Saya panggil dia Abang karena taksiran saya dia seumuran sama Bang Teguh.
Teman bang Teguh mengangguk. Bahkan seperti ingin menegaskan, kembali dia bilang. “Ya, udah gue lego,” katanya ringan. Saya yang balik melongo, sambil dalam hati saya bertanya-tanya, “Apa sepedamotor merk BSA itu merupakan barang curian, atau hasil kerja melanggar hukum, hingga temannya Bang Teguh merasa perlu untuk melegonya? Buat menghilangkan jejak?
“Itu sepedamotor BSA warisan dari bokapnya, babenya. Bukan barang boleh ngompas, atau barang colongan,” kata Bang Teguh di jalan pulang usai bertamu.
“Kalo itu bukan barang haram, apalagi itu warisan orang tua… dia nggak tepat menggunakan kata lego…”
“Mangsud, ente…?”
Biar tak timbul polemik atau perdebatan yang nggak perlu, kepada Bang Teguh saya jelaskan bahwa kata ‘lego’ dalam Bahasa Prokem itu berasal dari bahasa pelaut, kaum bahari Indonesia. Lego adalah kata kerja, saat dimana seorang juru-batu melempar sauh atau jangkar secara diam-diam, hingga jangkar tenggelam dan jadi bandul pemberat, untuk perahu atau kapal yang hendak berlabuh.
Kata ‘lego’ ini biasa dipakai sebagai Bahasa sandi, Bahasa rahasia dikalangan kaum pencoleng, pencuri (atau mungkin koruptor dan para penjahat kerah-putih) saat hendak menghilangkan barang bukti hasil kejahahatannya, yaitu dengan cara melego, melemparnya secara diam-diam kepada orang lain, bisa juga dalam bentuk transaksi jual-beli dibawah tangan. Itu yang dimaksud lego dalam Bahasa Prokem.
“Kalo itu barang punya sendiri, hasil dari kerja legal, saat harus dijual, sebutannya bukan dilego, Bang…! Melainkan dijokul,yang berarti juga dijual. Tapi pastinya, kalo dijokul itu bukan barang haram. Beda dengan dilego,” kata saya.
Bang Teguh melongo sejenak, untuk kemudian manggut-manggut dan tersenyum, seraya menepuk-nepuk pundak saya, sambil katanya: “Pinter ente, Cil…! Kagak percuma ane punya adek jalanan model ente…” ***