Komik Asterix, Humor Stereotip Tanpa Sensitif

KOMIK ASTERIX

Oleh IVY SUDJANA

Ketika bungsu saya Dydy mulai lancar membaca, dia pun segera senang membaca komik. Komik pertama yang dibacanya adalah Around the World in Eighty Days karya Jules Verne, lalu komik Why tentang World War 2. Kemajuan membacanya jadi melesat jauh ke depan, kosa kata pun banyak bertambah dan beragam. Tapi sayangnya kesenangan ini tak seritme dengan teman-teman sekelasnya yang lebih senang main game di dunia maya.

Keasikan main game online ini sampai membuat telpon selular saya ‘pingsan’ karena digunakan multitasking bersamaan dengan Mabar (istilah Main Bareng) dengan temannya di Gorontalo. Bermain Roblox secara online, harus login bersamaan, sehingga berada bersama-sama di ruang maya meski terpisahkan jarak dan waktu. Jadi untuk menyamakan saat login, dia melakukan WhatsApp Call dan Video Call. Dydy, bungsu saya di Jawa dengan WIB-nya dan temannya Air di Sulawesi dengan WITA-nya.

Ya, keseruan anak-anak kini lebih kepada kepuasan visualisasi plus audio juga, karena melihat lalu ditimpali suara, terasa lebih seru. Dydy mengenal Asterix dan Obelix pun dari tayangan filmnya, bukan komiknya seperti saya, yang dulu seringkali membujuk almarhum ayah untuk mengantar ke perpustakaan daerah demi meminjam buku-buku, di antaranya komik.

Berdasar Sejarah Prancis

Meski era cetak komik Indonesia dimulai dari periode 1930, namun penyebarluasannya dulu sangat terbatas pada media cetak seperti koran, majalah, dan buku untuk dikenal oleh masyarakat. Saya sendiri dulu kerap mendengar tentang komik Kho Ping Hoo dll, tapi yang kemudian saya baca-baca hanya komik Donald Duck saja.

Adalah Maria Antonia Rahartati Bambang Haryo yang berjasa besar memperkenalkan karya duo Rene Gosciny dan Albert Uderzo ke masyarakat Indonesia, berupa terjemahan komik Asterix yang mengangkat cerita berdasarkan sejarah Prancis. Komik ini rupanya memberikan keseruan dan gelak tawa banyak orang, yang tak berbatas masa bahkan sampai 62 tahun kemudian.

Meski diakui mengangkat kisah masyarakat di desa Galia dari bahasa Prancis ke bahasa Indonesia sangat tricky, namun Rahartati mampu dengan luwes mengadaptasi kelucuan itu sehingga kita pun bisa ikut terpingkal saat membacanya meski dalam bentuk terjemahan.

Sebenarnya apa sih yang lucu dari sebuah komik Asterix? Padahal pada beberapa adegan, mereka menceritakan penyerangan bahkan pertempuran yang diasumsikan kejam karena seolah menunjukkan kekerasan, seperti pemukulan pada kepala dan anggota badan lainnya.

Soal Ramuan Ajaib

Paul Byrnes, seorang kritikus film pada Sydney Morning Herald mengungkapkan kisah Asterix dan Obelix menjadi lucu karena mengungkapkan antara si kurus kecil dan si gemuk besar, di mana pemahaman itu akan menjadi hal yang menarik di mata anak-anak. Bahkan kata Paul lagi, kisah yang diangkat sangat real, dan lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari daripada kisah yang ditampilkan Disney; kecuali soal ramuan ajaibnya. Katanya kisah menjadi seru karena masyarakat Galia ini tahu cara hidup, dengan makanan dan anggur yang baik, tetapi mereka juga tahu cara bertarung. Meski diakui oleh masyarakat Prancis sendiri, bahwa fenomena itu agak sulit ditemukan dalam masyarakat Prancis modern.

Lalu bagaimana kelucuan kisah ini dalam Bahasa Indonesia. Rahartati lah yang berperan penting memberi sentuhan humor dalam hal penamaan tokoh-tokoh yang menjadikan kita tertawa geli. Seperti krempengnicus merujuk pada seseorang yang sangat kurus. Rahartati mengubah nama tokoh-tokoh dalam komik Asterix menjadi sangat Indonesia. Antara lain Tulibudeggus untuk pria yang kurang pendengarannya, Cowokemayus untuk laki-laki yang kemayu, lalu Asmabengekis untuk orang yang punya penyakit asma, Licik Munafiks, Setiawanjodix, dan Jayasupranix. Membaca nama-nama tersebut tentu menimbulkan kelucuan sendiri mengingat sangat dekat dengan kehidupan kita.

Bukan Makanan Asli

Meski tidak berniat melakukan perundungan, kelucuan juga timbul karena ada banyak pemberian stereotip untuk penggambaran karakter sebuah bangsa, yang menjadi ‘lawan’ Asterix dan Obelix saat itu. Bagaimana karakter orang Romawi, bagaimana karakter berbagai bangsa pada bajak laut yang ditemui.

Petualangan Asterix dalam berbagai kisah, telah membawanya ke banyak daerah, termasuk Spanyol, Yunani, Mesir, dan Amerika (prakolonial). Budaya asing digambarkan dalam stereotip humor (seperti halnya kebiasaan orang Prancis). Asterix digambarkan, menanggapi perbedaan mereka dengan tak habis pikir akan karakter orang-orang yang mencengangkannya. Seperti penggambaran tentang bangsa Goth, Normandia, Korsika dan orang-orang Inggris kuno.

Persinggungan Asterix dan Obelix ke berbagai budaya itu, juga turut membawa kita pada penemuan teh Inggris dan penciptaan French fries yang ternyata bukan makanan asli bangsa Prancis melainkan Belgia.

Mengingat stereotip berkonotasi negatif secara ilmu Sosiologi karena kita memberi label pada seseorang atas bentuk fisik, suku bangsa dan lainnya, saya mengakui Gosciny dan Uderzo sungguh piawai mengemas hal tersebut menjadi sebuah kelucuan. Yang meski ditafsirkan dalam berbagai bahasa tetap asik untuk dinikmati baik sebagai bacaan komik maupun tayangan film animasi atau live action, sehingga bisa dinikmati usia anak-anak.

Sungguh sebuah strategi dan metode penceritaan yang patut ditiru oleh komikus dan storyteller yang lain; termasuk saya tentunya. –

Avatar photo

About Ivy Sudjana

Blogger, Penulis, Pedagog, mantan Guru BK dan fasilitator Kesehatan dan Reproduksi, Lulusan IKIP Jakarta Program Bimbingan Konseling, Penerima Penghargaan acara Depdikbud Cerdas Berkarakter, tinggal di Yogyakarta