Kompromi

Boleh jadi, hidup selayak puzzel atau potongan-potongan kompromi.

Jika sedang melukis, aku agak susah jika diiringi ilustrasi musik yang benar-benar kusukai. Hla? Iya,…karena susah untuk mengkompromikan antara kegiatan melukis jika ditemani musik yang lagu dan syairnya benar-benar bagus. Seperti mengajak berdialog, berdiskusi. Padahal aku sedang ingin melukis. Aku biasanya malah bengong gak melukis-melukis karena tenggelam dalam kedahsyatan syair. Kok bisa ya bikin syair sebagus itu.

Maka, biasanya aku ‘ditemani’ oleh lagu atau musik yang sekadar ‘terdengar saja’. Hanya sesekali saja, aku mendengar yang betul-betul idolaku.

Beberapa hari lalu, tiba-tiba aku ingin membagi sesuatu kepada seorang teman yang lama sekali tak bertemu.

Temanku ini seorang wartawan musik dan manajer beberapa penyanyi dan musisi. Aku kerap menganggapnya bahwa dia selayak inseklopedia musik, terutama musik pop dan rock. Ketika dia berkesempatan nonton Woodstock, aku menggodanya: .

“Wah,…wartawan musik nonton Woodstock,…seperti naik haji, dong” dia cuma nyengir.

Aku bercerita bahwa aku sedang melukis ditemani sayup-sayup suara-sayatan gitar dari salah-satu gitaris rock dgn latar belakang gitar klasik yg dahsyat yaitu, Steve Howe.

Aku bilang sayup-sayup karena jika diputar keras-keras, maka anak bungsuku yang sedang bekerja, mengajar bahasa Inggris dari kamarnya akan berteriak: “Ayaaah,…keciliiiiin!”.

Menurut temanku yang lain:…”Steve Howe itu main gitarnya asyik, gak diragukan lagi. Bisa dari lagu rock yang menyayat-nyayat, tiba-tiba berbelok jadi lembut, mengalun, bluesy, mendayu-dayu, ngelangut,…lalu ada warna-warna country. Tapi,…kadang dia egois. Egois? Apa gak kompromi dulu waktu dia dan teman-temannya membuat lagu?

Ada beberapa lagu Yes yang soundnya ‘rebutan’ antara vocal John Anderson, bertumpuk-tumpuk dengan sayatan gitar Howe yang meliuk-liuk di antara vocal Anderson. Alih-alih melengkapi, malah mengganggu. Aku setuju. Suara John Anderson yang dahsyat, tinggi melengking, jernih -menurut istilahku- seperti “suara malaikat”, terlalu sayang jika ‘direcoki’ suara apa pun.

Aku mengirim cerita ke teman lamaku itu, lewat fasilitas message facebook.

“Waaah,…itu album asyiiik. Eh,…ngomong-ngomong, share ke gw no. WA-lo dong. Kok,…gw gak punya nomor lo, ya?”

Setelah aku kirim nomor WA waaah.. , kami ngobrol panjang soal musik.

“Eh, gw mau cerita soal Steve Howe nih. Antara seneng, kaget, bangga,…tapi sedih. Wuiiih, ada 4 perasaan sekaligus yang berkelindan dalam 1 kesempatan!

Begini. Ketika Yes manggung di Jakarta beberapa waktu lalu (sekitar 10 tahun lalu, kalau tak salah) temanku itu nonton. Dia merayu panitia, seandainya bisa bertemu, apalagi wawancara, ternyata tak bisa.

Ya sudah,…apa mau dikata. Akhirnya dia membawa vynil album dari Steve Howe yang bertajuk “The Steve Howe Album”.

Dia titipkan kepada panitia yang kebetulan dikenalnya untuk meminta tanda tangan di vynil album itu.

Mengingat kesibukan sang panitia antara harus sibuk ‘melayani’ para musisi sebagai tamu yg ingin konser, menyediakan akomodasi, kenyamanan penginapan, soundchek dll,…maka temanku ini tak berharap banyak.

Malah agak spekulatif. Seandainya, vynil album itu tak bisa ditandatangani, bahkan seandainya pun sampai hilang,…yaa apa mau dikata? Namanya juga usaha.

Setelah konser selesai, dia menunggu. Berharap temannya berhasil meminta tanda tangan sang gitaris.

Sekian lama menunggu, tak juga ada kabar. Pasti panitia sibuk. Ah sudahlah. Akhirnya temanku pulang.

Besoknya, sang panitia menelpon. Temanku, langsung bertanya tentang nasib vynilnya. Ternyata bukan cuma dapat tanda tangan. Bahkan Steve Howe ingin bertemu dengan temanku!

Panitia bilang bahwa Steve Howe heran. Di negara yang “kami tak tahu adakah penggemar Yes di sini” kok, bisa ada yang punya album Solo “The Steve Howe album”.

Hari sudah lumayan larut. Di suasana hening, sambil nggambar, aku keraskan sedikit volume “The Steve Howe” album.

“Ayaaah,…terdengar suara anakku. Ah, pasti minta volume dikecilkan lagi. Ya, ya,…hidup adalah kepingan-kepingan kompromi.

Ternyata bukan. “Ayah,…Adek lagi bikin mie instan. Ayah mau, gaaak?”

“Mau dooong!”
“Rasa apaaa?”
“Terseraaah”
“Rasa terserah gak ada. Adanya:…rasa ayam bawang, rasa soto mie dan,…wah ini asyik kayaknya. Rasa laksa Singapur, yaaa. Oke,…ya, yaaa,…gak usah dibilangiiin,…Adek hafal kok, kasih sayur dan banyak tomaaat!”

(Aries Tanjung)