Komunitas Menulis dari Rumah

foto Heryus Saputro

Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI

Seide.id – Dulu ada mobil assembling Indonesia-Jepang yang saking kabinnya luas, maka diiklankan sebagai mampu memuat dan membawa “aku, adik, kakak, mama, papa, nenek dan kakek. Nah bayangkan bila orang serumah itu, plus para tetangga, seide menulis dari rumah masing masing-masing, entah puisi entah prosa, atau sekadar catatan harian yang saying untuk dibuang, dan menerbitkannya dalam sebuah buku?

Itu juga keragaman penulis buku Anakku Permataku, editor Julia Utami, penyelia Kurniawan Junaedhie yang diterbitkan Kosa Kata Kita – Jakarta, Juni 2021. Empat ratus satu (401) orang dari sekujur Nusantara, seide nulis bareng di buku tersebut, Yang menarik, mereka umumnya bukan siapa-siapa, melainkan orang biasa-biasa saja, dari anak usia 9 tahun hingga nenek-kakek di atas usia 60 tahun.

Bayangkan bila masing-masing menulis antara satu hingga 4 halaman. Berapa tebal buku yang terbit? Karena itu diakali dengan memilah buku menjadi 6 (enam) bagian, dan tiap bagian berisi karya nana penulis sesuai abjad dari A hingga Z, dan mereka seide menulis sambil memanfaatkan anjuran work at home saat pandemi Covid-19 melanda dan menjadi bagian dari keseharian hidup orang Indonesia.

Kurniawan Junaedi menjadi penyelia

Julia adalah guru sekolah di Jakarta pusat, yang nyambi kerja sebagai penyair dan menulis buku. Dia melihat, di era digital yang kian canggih ini, minat menulis tak Cuma ada pada diri wartawan atau orang yang memang berprofesi sebagai penulis. Lihat saja di medsos, selain gambar, tiap hari berlaksa orang memposting tulisan, yang lantas hilang begitu saja. Kenapa tidak dibukukan sebagai jejak orang tersebut?

Tiap penulis, siapa pun, rasanya ingin karyanya terarsip sebagai buku. Tapi siapa mau mengharsip dan membukukannya? Penerbit yang ada pun kini banyak yang terpuruk. Ini diakui Belinda Gunawan, penulis, editor buku dan mantan wartawan di grup majalah femina. “Dunia penerbitan memang sedang terpuruk, tapi di sisi lain tumbuh penerbit-penerbit indie yang memberi kesempatan tersendiri bagi siapapun penulis.”

“Memang lebih terhormat dan gaya kalau kita bisa menerbitkan buku di penerbit mayor. Tapi tidak aib juga menerbitkan buku di penerbit indie. Toh soal mutu ada di tangan kita,” ungkap Belinda yang kini aktif di Seide.id. Bersama teman-teman lamanya, membangun komunitas menulis dari rumah. Menulis sendiri, cari ongkos cetak sendiri. Sisa buku yang jadi nomor bukti bagi penulis, dijual on-line untuk modal buku berikut.

Ibu dan anak menulis bersama, kreatif dari rumah

Dengan cara itu, dibantu penerbit indie, banyak penulis kini lebih memilih menerbitkan buku sendiri dan memasarkannya sendiri. Tapi bagaimana dengan orang-seorang yang bukan penulis, tapi punya minat (atau bakat) menulis? Cukupkah mereka menulis di medsos hari berganti tahun? Ini yang menginspirasi Julia, mengundang orang biasa untuk menulis, termasuk profesional yang yang tak merasa turun gengsi untuk gabung.

Ide Julia mendapat dukungan Kurniawan Junaedhie atau Jun, sastrawan dan mantan wartawan Kompas-Gramedia. “Aku setuju bantu, karena target penulisnya cocok: yaitu bapak dan ibu rumahtangga (termasuk anggota keluarga mereka), orang awam,” ungkap Jun yang mengelola Kosa Kata Kita. Tema tulisan pun sederhana, yakni kejadian sehari-hari di sekitar kita.

“Para awan diajak menulis hal-hal yang mudah, kongkret dan dekat dengan kita.Tentang ibu, bapak, anak, guru, dll. Dengan begitu kita harapkan mereka akan memamerkan (hasil tulisan mereka kelak) ke orang-orang terdekat, termasuk tetangga,” kata Jun. Oktober 2020, woro-woro diumumkan di medsos. Siapa mengira, 190 orang berkenan ikut menulis, dan pada November lahir buku pertama, Ibuku Surgaku.

Selang sebulan setelah buku pertama terbit, dilanjut buku kedua bertema Ayahku Jagoanku, dan Anakku Permataku adalah buku ketiga Komunitas Menulis Dari Rumah. “Dalam tempo dekat ini akan terbit buku ke-4, bertajuk Guruku Idolaku,” kata Julia. Siapa pun boleh ikut menulis. Tiap naskah dimuat, selama memenuhi kriteria teknis (5000 karakter, dll) serta tidak mengandung SARA.

Tentu ada editing atas naskah yang datang. Bahkan di awal banyak aksi “pembabatan” besar-besaran terhadap naskah yang malur-malur nggak jelas. Maklum saja karena target utama audience buku ini adalah orang awam, bukan penulis. Di awal program, Julia dan Jun sudah menyodorkan tagline bahwa setiap orang berhak jadi pengarang. Menjadi pengarang adalah hak setiap orang

Bahwa ada penulis sungguhan ikut dalam penerbitan ini, juga melalui seleksi. Itu sangat membanggakan sekaligus mengharukan peserta yang biasa-biasa saja. “Salut karena penulis terkenal itu berkenan menulis satu buku dengan kami yang bukan siapa-siapa,” kata satu penulis (saya lupa siapa) di medsosnya. “Kami jadi belajar bagaimana menulis yang baik.”

“Julia itu partner yang hebat dan tangguh. Dia bekerja di tengah kesibukannya sebagai guru yang harus daring, membuat soal ujian, dan memberi nilai raport. Hebatnya, dia juga sempat menerbitkan novel Perempuan-Perempuan Abhipraya,” uangkap Jun juga tetap jalan dengan aktivitas kesehariannya: jadi juri, pembicara, nerbitin buku, bahkan sempat menerbitkan buku puisi AGSKTKDD dan Opera Sabun Colek Rebon .***

Heryus Saputro Samhudi – SEIDE 13/07/202

Avatar photo

About Heryus Saputro

Penjelajah Indonesia, jurnalis anggota PWI Jakarta, penyair dan penulis buku dan masalah-masalah sosial budaya, pariwisata dan lingkungan hidup Wartawan Femina 1985 - 2010. Menerima 16 peeghargaan menulis, termasuk 4 hadiah jurnalistik PWI Jaya - ADINEGORO. Sudah menilis sendiri 9 buah buku.