Sebuah baliho dipasang di jalanan, membuat orang tertarik. “ Selamat Ulangatahun Bu Sarmintul. Dari Pak Sarmintul. Iklan apakah ini. ( Foto: dudungbaliho.twitter)
Dr. HANDRAWAN NADESUL
Kita tidak dilahirkan kreatif. Menjadi kreatif karena diciptakan, dibentuk. Kreativitas dibutuhkan di bidang apapun kita bergumul. Hanya mereka yang kreatif, sukses hidup berada di ujung pergumulan hidupnya. Penting bagi pekerja seni. Sukses berkesenian lebih dari hanya produktif, melainkan membuahkan karya yang kreatif.
Kreatif itu menciptakan sesuatu yang tidak biasa. Semacam terobosan, yang tidak ada sekolahnya.Tidak bisa dipelajarkan. Ini bagian dari “Tacit Knowledge” tak ubahnya orang belajar naik sepeda. Tidak ada uraian teori penjabaran bagaimana sampai bisa mampu naik sepeda. Berlangsung begitu saja.
Demikian pula proses kreatif, itu menemukan seusatu yang baru, yang membuahkan, juga bukan sekadar baru, sekadar aneh, atau absurd, melainkan memiliki nilai terobosan dari buah kecerdasan.
Juga dalam hal memasarkan, perlu sentuhan kreativitas. Seorang Veta Mandra Perdana Putra yang membuat baliho di ruang publik kota Yogya baru-baru ini, sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini. Dinilai kreatif karena sambil memberi atensi dan tanda kasih kepada istri, sahabat Veta telah memancing publik bertanya-tanya siapa gerangan pembuat baliho unik ini, hingga ujungnya tahu kalau itu penjual mie. Berhasil.
Modal kreativitas berapa pun nilai tak perlu diperhitungkan, mengingat untuk memasang bebebrapa buah baliho sebesar itu perlu biaya tidak kecil, tapi nilai marketingnya tidak berhingga. Pasang iklan sehalaman di koran perlu kocek ratusan juta rupiah. Belum tentu semua melihatnya. Tapi memasang baliho unik begitu, memancing banyak mata orang yang lalu mempertanyakan. Orang lalu menjadi tahu kalau itu iklan penjual mi yang mengaku bernama Pak Sarmintul. Luar biasa karena bikin orang penasaran. Itu nilai kreatif marketingnya.
Ternyata yang mengaku Pak Sarmintul itu seorang bernama Veta Mandra Perdana Putra, lulus S3 marketing sebagaimana candaan yang disampaikan sahabat Affrila Utami. Hebat. Tanpa gelar yang lebar kreativitas bisa tercipta pada siapa saja. Gelar selebar apapun tidak menjanjikan, melainkan apa karya yang bisa kita kreatifkan.
Pendidikan kita umumnya kurang membukakan ruang kreativitas anak didik kita, kalau bukan malah mengungkungnya. Anak menggambar langit berwarna hijau dicela, bukan dipuji. Menjawab pertanyaan guru apa makanan pokok bangsa kita, dijawab ketela, anak dicela, dan ditegur karena bikin malu bangsa, maunya guru jawabannya harus beras.
Pendidikan menumbuhkan potensi kreatif itu pendidikan yang memanfaatkan lateral thinking, pendidikan quantum (Quantum learning), yang tidak linier searah.
Anak yang pikirannya melebar anak yang punya potensi kreatif kelak setelah selesai sekolah. Misal, ketika anak ditanya kenapa orang kalau menembak matanya dipicingkan sebelah? Anak-anak lain kebanyakan menjawab, misal, supaya tepat sasaran. Tapi anak yang berpotensi kreatif akan menjawab, kalau kedua mata dipicingkan tentu tidak akan bisa melihat. Seperti halnya pertanyaan kenapa bangau kalau berdiri kakinya diangkat sebelah, anak kreatif menjawabnya, kalau diangkat keduanya, akan jatuh. Itulah lateral thinking, yang seharusnya dikembangkan, ditanamkan, menumbuhkan potensi kreatif setiap anak.
Salam kreatif,