Seide.id -Hidup hari ini dan ke depan, buat pria dan wanita sama beratnya. Jalan keluarnya bukan lagi berat sama dipikul ringan sama dijinjing lewat atas nama menikah. Tapi memilih hidup dan jalan sendiri-sendiri.
Jaman kecil, boleh dibilang jarang saya ketemu teman anak tunggal. Rata-rata dari keluarga besar. Minimal empat bersaudara. Maksimal malah ada tiga keluarga teman saya yang 16 bersaudara. Saya sendiri tujuh bersaudara.
Ketika kami besar dan ketemu, sedikit sekali yang punya anak empat. Rata-rata punya anak dua seperti saya yang dulu santer digaungkan lewat program KB “dua anak cukup”. Paling banter tiga. Sepertinya tidak ada yang bermimpi mengulangi masa lalunya yang setelah besar baru terasa betapa susahnya masa kecil bersaudara banyak.
Jadi saya tidak heran kalau generasi saat ini mulai banyak yang bakal memilih hidup sendiri. Kalau pun menikah sama-sama sepakat tidak mau punya anak alias childfree.
Dan itu sudah terjadi di Jepang yang sedang mengalami krisis generasi muda atau krisis populasi, sehingga banyak sekolah-sekolah yang harus ditutup karena tidak ada murid. Misalnya SMP Yumoto. Sekolah berusia 76 tahun itu akan menutup pintu selamanya usai tahun ajaran berakhir pada April lalu.
Krisis populasi ini tentu saja kelak akan berdampak pada profesi guru, bidan, atau dokter spesialis kandungan. Beberapa keponakan saya yang memilih profesi bidan karena melihat kesuksesan tantenya, kakak perempuan saya, mulai merasakan minimnya pasien. Mau dibilang apa. Begitulah faktanya
Makanya sebagai orangtua, sayq berusaha menghindari keluar pertanyaan klasik ortu jadul ke anak saya, “kapan menikah?” Apalagi diembel-embeli, “papa udah kepingin ngegendong cucu.”
Saya tahu itu adalah pertanyaan paling ngeselin dan bisa jadi bikin eneg anak milenial. Buat saya, karena mereka sudah besar, jadi biarlah mereka yang mengambil keputusan dan menentukan jalan hidup mereka sendiri.
Pernah sih anak saya yang cowok bilang begini, “Pa abang kayaknya gak bisa menikah kayak papa di usia 31. Perjalanan abang kayaknya masih panjang. Minimal berhasil menyelesaikan spesialis dululah. Barulah nanti mikirin menikah. Walau dipikir-pikir hidup sendiri kayaknya juga gak masalah sih.” Katanya santai tapi serius.
Yang cewek, yang waktu SMA sampai kuliah pernah menggebu-gebu dan kekeuh bilang mau menikah muda, sekarang sudah menyurut. Kayaknya dia mulai tertarik mengikuti abangnya pergi jauh ke benua seberang.
Di tengah krisis populasi dan tutupnya SMP Yumoto, saya bersyukur Mei kemarin masih bisa bikin acara reuni ke-44 tahun lulusan 79 SMPN LXX Pejompongan. Sebuah reuni yang mungkin 20 tahun ke depan bisa jadi tidak akan ada lagi karena sekolahnya juga tutup akibat krisis populasi.
Sebagaimana pandemi, bencana alam, atau perang dunia, saya pikir krisis populasi juga sebagai bagian dari bentuk keseimbangan dan kelangsungan alam.
(Ramadhan Syukur)