Plot “pengantin perempuan yang tertukar” ini, senaif apa pun terasa nalar, untungnya tidak terperosok menjadi tipikal sinetron Indonesia atau musical Bollywood yang banal. Penulis skenario Sneha Desai mampu mengembangkan cerita dari naskah yang aslinya berjudul Two Brides karya Biplab Goswani (dipilih produser Aamir Khan dalam sebuah kompetisi penulisan naskah) menjadi awal babak kedua cerita yang semakin meyakinkan.
OLEH AKMAL NASERY BASRAL*
JIKA Anda berminat mengetahui (sebagian) masalah perempuan India yang masih saja kusut masai di era digital, tontonlah Laapataa Ladies. Boleh jadi Anda – atau kita semua termasuk saya – akan bersyukur: kondisi perempuan Indonesia tidak serumit penggambaran film itu kendati secara sosio-antropologis dan sosio-demografis tak sedikit kemiripan antara kedua negara dengan sejarah panjang dalam urusan keperempuanan.
Film yang mewakili India untuk kategori Best International Film untuk Piala Oscar 2025 ini disutradarai Kiran Rao, mantan istri sineas masyhur Aamir Khan. Keduanya ‘rujuk sejenak’ dengan Aamir Khan ( 3 Idiots, PK, Dangal) sebagai salah seorang produser melalui Aamir Khan Productions.
Di India, Laapataa Ladies tayang di bioskop pada 2023 dan sukses sebagai salah satu film terlaris, membuat Netflix tergiur menampilkan dalam kanal mereka sejak April 2024. Sementara bagi saya, inilah film panjang pertama yang saya tonton di awal 2025.
Kisah terjadi pada 2001 di sebuah desa fiktif Nirmal Pradesh, tempat pengantin perempuan bernama Phool Kumari (diperankan Nithansi Goel) baru dinikahi Deepak Kumar (Sparsh Srivashtav) yang berasal dari provinsi lain. Beberapa hari setelah pernikahan, Deepak mengajak Phool ke desanya yang berada di penjuru lain India. Mereka gunakan moda transportasi umum sambung-menyambung, dari bus sampai kereta api kelas ekonomi yang lebih mirip kaleng sardencis saking sesaknya.
Selama adegan pembuka ini, duet sinematografer Vikash Nowlakha dan penata musik Ram Sampath berhasil menyajikan komposisi audio visual yang memuaskan mata dan telinga secara optimal. Rangkaian pengadeganan yang jauh dari kesan kosmetik seperti tipikal mayoritas film Bollywood. Sebaliknya, yang tersaji seperti gaya dokumenter dengan polesan fiksionalisasi yang masih dalam wilayah toleransi akal sehat. Penonton seakan mengalami sendiri teleportasi ke wilayah rural India, mencium aroma peluh masyarakat kelas bawah.
Saat berada di dalam sebuah gerbong kelas ekonomi dengan penumpang yang berjejal, Deepak dan Phool bukan satu-satunya pasangan yang baru menikah dan mengenakan pakaian sakral pengantin: jas cokelat mempelai lelaki dan sari dengan ghoonghat (cadar) merah darah bagi mempelai wanita. Ada dua pasang pengantin baru lainnya yang juga berpenampilan serupa.
Di tengah formasi penumpang yang terus berubah seiring masuknya KA di stasiun-stasiun yang dilewati, Deepak salah menggamit mempelai wanita lain saat tiba di stasiun tujuannya. Baru setelah sampai di rumah, disambut keluarga besarnya, dan ghoonghat dibuka, ternyata bukan Phool yang bersamanya melainkan Pushpa Rani (Pratibha Ranta), mempelai perempuan dari pasangan lain. Phool melaju dalam KA menuju stasiun berikutnya tanpa Deepak.
Plot “pengantin perempuan yang tertukar” ini, senaif apa pun terasa nalar, untungnya tidak terperosok menjadi tipikal sinetron Indonesia atau musical Bollywood yang banal. Penulis skenario Sneha Desai mampu mengembangkan cerita dari naskah yang aslinya berjudul Two Brides karya Biplab Goswani (dipilih produser Aamir Khan dalam sebuah kompetisi penulisan naskah) menjadi awal babak kedua cerita yang semakin meyakinkan.
Pushpa hidup di tengah keluarga Deepak sementara Phool diterima sebuah komunitas gembel sebelum bekerja membantu seorang perempuan paruh baya Manju Maai (aktris veteran Chhya Kadam) yang membuka lapak makanan di stasiun. Cerita berjalan paralel, bolak-balik antara kehidupan baru Pushpa dan Phool.
Sebagai sutradara, Kiran Rao juga menyisipkan kritik yang karikatural tentang sikap polisi India yang mata duitan. Semua laporan warga harus disertai sogokan sebelum dikerjakan.
Di sinilah kecanggihan Kiran Rao sebagai sutradara berpijar. Dia bukan saja mampu mengeluarkan kemampuan akting pemeran Pushpa dan Phool secara optimal, bahkan menyuarakan isu-isu feminisme dalam struktur patriarki masyarakat India melalui penggambaran visual keluarga besar Deepak dan melalui ucapan-ucapan Manju Maai yang bertenaga.
Saya tidak tahu apakah dalam naskah asli Two Brides ada peran Manju Maai, namun dalam skenario Sneha Desai yang menjadi bahan utama Laapataa Ladies terasa sekali tokoh perempuan paruh baya penjual makanan ini sebagai role model tentang perempuan India ideal dalam bayangan Kiran Rao: independen (tidak tergantung pada lelaki (baik secara keuangan maupun fungsi sosial), kreatif, produktif, analitis, dan berani mengomentari secara kritis peran yang harus dijalani perempuan India atas nama tradisi.
Sebagai sutradara, Kiran Rao juga menyisipkan kritik yang karikatural tentang sikap polisi India yang mata duitan. Semua laporan warga harus disertai sogokan sebelum dikerjakan. Besarnya uang sogokan, pada salah satu adegan, bisa dikurangi jika kebetulan sang pelapor bisa menyanyikan lagu tradisional India dengan merdu.
Karakter India yang berada di persimpangan negara agraris dan industri juga tak luput dari film ini. Maka, Pushpa diberikan atribut sebagai calon mahasiswi pertanian yang mendambakan pertanian organik tanpa pestisida sebagai pola agrikultur yang seharusnya dilakukan petani. Namun, niatnya untuk mendalami ilmu pertanian terhambat karena harus menikah cepat dengan lelaki pilihan ibunya tersebab kemiskinan yang membelit keluarga mereka.
Kendati satu persatu problem pribadi Pushpa, juga Phool, terurai namun film tidak menjadi pelik dan berubah menjadi esai visual tentang feminisme dan agrikulturalisme di simpang jalan (jangan lupa, di tingkat global para ahli IT dengan kompetensi tinggi banyak yang berasal dari India diaspora). Kiran Rao tetap menjaga napas Laapataa Ladies sebagai tontonan yang menyenangkan sebagai medan laga ensembel akting para pemain, kedalaman dialog, serta editing cut-to-cut yang efektif dalam menjaga tempo penceritaan.
Cerita, tentu saja, berakhir dengan happy ending. Phool dan Pushpa pada akhirnya menemukan jalan keluar dari “ketersesatan sementara” mereka, yang sesungguhnya juga merupakan momen penemuan jatidiri masing-masing.
Ada sedikit plot-twist di bagian akhir menyangkut sikap polisi yang tadinya sangat pragmatis-mata duitan menjadi, bim salabim, penegak hukum yang etis-moralis. Bagi saya, inilah kelemahan terbesar kisah Lapataa Ladies dari sisi logika story telling. Tetapi, bagi Kiran Rao sebagai sutradara dan Aamir Khan sebagai produser, barangkali ada kalkulasi lain yang harus dihitung jika tetap menampilkan wajah polisi India secara “apa adanya” dan “ada apanya” sampai menit terakhir.
Di luar sedikit catatan itu, Laapataa Ladies saya rekomendasikan sebagai tontonan keluarga yang menginspirasi. Sebab, meski terjadi di India, pada beberapa bagian adegan terasa seperti melihat wajah bangsa sendiri dalam pelukan sedih Ibu Pertiwi.
Jakarta, 6 Januari 2025
*Penulis novel Nagabonar Jadi 2 (versi film dengan judul sama, sutradara Deddy Mizwar, 2007), novel Sang Pencerah (versi film dengan judul sama, sutradara Hanung Bramantyo, 2010), dan novel Batas: Antara Keinginan dan Kenyataan (versi film dengan judul sama, sutradara Rudi Soedjarwo, 2012).