Mengenal ‘Es Pisang Ijo’, Kuliner Nusantara dari Makassar

Pisang Ijo01

Es Pisang Ijo populer di Makassar. Nyaris di tiap sudut keramaian di kota itu ada saja lapak warung atau gerobak dagang penjual Es Pisang Ijo. Belakangan saya tahu kudapan segar ini juga banyak dijual dan dibuat oleh masyarakat di kota lain di Sulawesi. Pare-Pare, Kendari, Manado, Gorontalo, serta di rumah para sedulur Resti di Donggala dan Palu, Sulawesi Tengah. foto Heryus Saputro Samhudi.
 
Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI
 
Seide.id 13/02/2024 –  Selepas Tahun Baru Imlek, hujan memang rada berkurang; tapi udara tetap gerah walau sedang minggu tenang. Ayo nikmati semangkuk kudapan yang populer sebagai Es Pisang Ijo, dan pertama kali saya temukan akhir Desember 1979 di pelataran Pelabuhan (laut) Soekarno-Hatta di Ujung Pandang, atau kini Kota Makassar.
 
Ada yang bilang, Es Pisang Ijo merupakan jenis kuliner sepinggan (one-dish-meal) khas Makassar. Apa iya? Entahlah Yang pasti  bebagai literasi menyebut kuliner ini sudah menjadi bagian dari sajian istana masa Sultan Hasanuddin (1653-1669) memimpin Kesultanan Gowa-Tallo . Tentu saja masyarakat di sana itu masih menyebutnya Pisang Ijo, belum diembel-embeli kata ‘es’ di depannya.
 
Di Indonesia ada banyak kuliner tradisional,jenis minuman khususnya, yang diembel-embeli kata ‘es’ di depannya. Sebut misalnya Es Dawet, Es Bubur Kacang Ijo, Es Jeruk, Es Bir Pletok di Betawi atau Es Bir Kotjok di Bogor dan lainnya, dan tentu saja Es Pisang Ijo, mengantar pemahaman kita bahwa kuliner tradisional ini telah mengalami pola baru saji saat produk es-batu masuk ke Indonesia.


 
Para pehobi literasi pasti tahu bahwa balok-balok es-batu pertama mendarat di Pelabuhan Sunda Kalapa (Pelabuhan Tanjung Priok baru mulai dibangun 31 tahun kemudian) pada 18 November 1846, dibawa oleh kapal besar bertenaga uap dari Boston Amerika Serikat langsung menuju dan singgah di Singapura, untuk tujuan akhir Sunda Kalapa. Pelabuhan warisan Kerajaan Sunda di barat-utara Jawa
 
Balok-balok es dibongkar sehari kemudian. Semua orang terheran-heran bahwa air bisa dibekukan jadi es batu, tak perlu lagi nunggu ada hujan es, hihihi…! Itu semua pesanan perusahan Roselie & Co, yang lantas diangkut ke Hotel de Provence (pada 1 Mei 1856, Wijjs – pemilik hotel, atas saran Douwes Dekker, mengganti namanya menjadi Hotel des Indes) untuk mengelar Festival Minum Limun bareng Es Batu.
 
Es-batu impor itu menginspirasi hadirnya NV Petojo Ijs di Tahun 1895, terletak persis di selatan Hotel de Provence/ des Indes. Pabrik es lainnya pun bermunculan di kota-kota besar lainya di Jawa, Sumatera dan juga di Makasar/Ujung Pandang di Sulawesi Selatan. Es Batu pun masuk ke dalam budaya kuliner bangsa ini, dan banyak kuapan disajikan dengan es batu, termasuk Es Pisang Ijo.
 
Es Pisang Ijo memang populer di Makassar Nyaris di tiap sudut keramaian di kota itu ada saja lapak warung atau gerobak dagang penjual Es Pisang Ijo. Belakangan saya tahu kudapan segar ini juga banyak dijual dan dibuat oleh masyarakat di kota lain di Sulawesi. Pare-Pare, Kendari, Manado, Gorontalo, serta di rumah para sedulur Resti di Donggala dan Palu , Sulawesi Tengah.
 
Es Pisang Ijo diolah dari buah pisang raja, ambon, atau kepok yang sudah matang. Pisang dibalut dengan adonan tepung beras bercampur santan dan air daun pandan yang memberi warna hijau dan aroma pandan. Dikukus hingga menghasilkan satuan pisang ijo yang kenyal. Siapkan bubur sum-sum gurih asin, sajikan dengan disiram sirop warna merah, dan lelehan susu kental, plus remukan es batu.
 
Percaya-nggak percaya, kini tak cuma masyarakat Bugis-Makassar, ataupun masyarakat etnis Kaili yang pinter bikin olahan Es Pisang Ijo, tapi juga para sedulur sekandung Resti yang orang Jawa kelahiran Kota Bogor Transfer pengetahuan sudah lama berlangsung antara budaya Jawa-Sunda dan budaya Sulawesi. Kangen Es Pisang Ijo? “Ntar aku bikinin, Oom…!” ucap keponakan di Kota Bogor. Hmmm…! **
 
19/02/2024 PK 11:23 wib
 
 

Avatar photo

About Heryus Saputro

Penjelajah Indonesia, jurnalis anggota PWI Jakarta, penyair dan penulis buku dan masalah-masalah sosial budaya, pariwisata dan lingkungan hidup Wartawan Femina 1985 - 2010. Menerima 16 peeghargaan menulis, termasuk 4 hadiah jurnalistik PWI Jaya - ADINEGORO. Sudah menilis sendiri 9 buah buku.