Teksturnya mirip wajik. Tapi jawadah dibuat dari tepung beras, gula aren dan kelapa parut, dikukus dan lantas diwadahi takir dari kraras atau daun pisang kering.
Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI
SITU Lengkong seluas 72 hektar mengampar tenang dengan air kehijauan. Di tengahnya mengambang Nusa Larang atau Nusa Gede yang berhutan lebat, serasa memanggil-manggil saya untuk datang. Bukan hanya untuk ziarah ke makam Prabu Borosngora, Raja Panjalu terakhir sekaligus raja pertama di Priangan Timur yang memeluk Islam, tapi juga untuk kayaking, mendayung kayak menyusurinya.
Siang itu tanggal 01 November 2021, saya dan Resti memang sudah siap mendayung kayak bersama Kancra Kayaking yang dikelola pasangan Iwan dan Magda, di tepi Situ Lengkong di Desa Panjalu, Kecamatan Panjalu, di utara Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Bersama kami juga akan turun mendayung rekan-rekan dari Stasiun TVRI Bandung yang baru saja usai meliput upacara Nyangku.
“Santai dulu, ‘lah…! Ayo kita ngeteh dulu sebelum mendayung. Biar tubuh fresh. Ini kebetulan ada cemilan khas Panjalu, yang nggak ada di tempat lain,” ucap Magda, nyonya rumah sekaligus manajer homebase Kancra Kayaking, seraya meletakkan teko berisi air teh, serta nampan berisi kue-kue semi-basah bercitarasa manis, yang antara lain saya kenali sebagai kue Jawadah Takir Panjalu.
Disebut dengan menyertakan kata ‘Panjalu’, karena cemilan atau makanan suguhan ini memang khas Desa Panjalu. Teksturnya mirip wajik. Tapi jawadah dibuat dari tepung beras, gula aren dan kelapa parut, dikukus dan lantas diwadahi takir dari kraras atau daun pisang kering. Karena umumnya cuma ditemukan di Pasar Panjalu, maka oleh-oleh satu ini pun dikenal sebagai Jawadah Takir Panjalu.
Banyak wanita Panjalu mahir membuat cemilan satu ini, khuususnya saat-saat hendak ada hajatan keluarga. Di pasar juga ada dijual, dan pengerajinnya banyak terdapat di Dusun Garahang Desa Panjalu. Cuma kini agak sulit menemukan jawadah dengan takir kraras. Dengan pertimbangan praktis dan ekonomis, pengerajin umumnya sudah mengganti wadah takir dengan bungkus plastik bening.
“Untuk mengembalikan marwah budaya khas Panjalu, saya lantas membuat sendiri cemilan satu ini berdasar tradisinya. Tapi bentuk takirnya sedikit saya ubah. Bukan lagi berbentuk congcot, melainkan berbentuk sampan mini,” ucap Magda yang lahir di Desa Panjalu. Magda juga menginfokan guna kraras atau daun pisang kering, yang membuat jawadah lebih awet, bisa tahan sebulan tidak tengik. (Bersambung)
05/11/2021