Kawa daun di mangkok batok – Foto Restiawati Niskala.
Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI
KABUT pekat turun mengaburkan pandangan di tengah perjalanan kami menuju Bukittinggi, suatu hari sebelum pandemi Covid-19. Tepatnya ketika melintas di Jalan Simpang Aie Angek Koto Baru Padang Panjang Bukittinggi, Sumatera Barat. Suasana dalam mobil terasa lebih dingin membuat kami memilih menepi ke sebuah Pondok Lamang Kawa Daun yang tegak di tepi jalan.
Keluar dari dari kabin kendaraan, udara dingin langsung membekap tubuh. Itu sebabnya barangkali, mengapa banyak pelintas sama seide mampir di Pondok Lamang dan Kawa Daun milik Bang Pangeran Sardi, dan langsung lesehan di meja-meja panjang yang tersedia di gubuk terbuka beratap rumbia. Masih ada tempat kosong di pojok buat kami berselonjor kaki.
Lamang adalah Bahasa Minangkabau untuk lemang, panganan berbahan aronan beras ketan berbumbu, diberi santan dan dimasukkan ke dalam potongan buluh bambu seukuran 30 – 40 sentimeter, lalu buluh berisi adonan beras ketan itu dipanggang (berdiri dan berjajar) di perapian, hingga hangus kulit luar bumbung, dibelah dan dikeluarkan isinya berupa lamang legit-gurih siap santap.
Lamang asyik dinikmati dengan tape (tapai) ketan. Rasa gurih lamang padu dengan rasa tape ketan yang asam-manis-segar serta aroma alkohol herbal alami yang dikandungnya. Tapi Sumatera juga merupakan ‘gudang’ buah durian di Indonesia, yang melimpah pada musimnya antara November – Maret. Tak heran bila di situ juga tersedia buah-buah durian untuk dinikmati bersama lamang.
Yang menarik, laman (juga tape ketan dan durian) disajikan dengan minuman hangat dalam mangkuk batok kelapa. Sekilas mirip air teh atau kopi. Tapi jelas bukan air seduhan serbuk daun teh ataupun biji buah kopi. Rasanya sedikit agak sepat di lidah, boleh diimbuhi gula aren dan susu kental manis. Ini minuman khas daerah itu, yang populer sebagai kawa daun, aie kawa atau air kawo.
Kawa daun langsung mengingatkan saya pada novel Max Havelaar (1860) karya Multatuli – nama pena Eduard Douwes Dekker (2 Maret 1820 – 19 Februari 1887), penentang sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) yang diterapkan Pemerintah Kolonial Belanda terhadap warga jajahannya di Nusantara, yang menginspirasi bangsa Indonesia bangkit untuk tidak dijajah lagi oleh bangsa manapun.
Dalam novel Max Havelaar ada percakapan antara tokoh Pengawas Verbrugge dan Komandan Garnisun Letnan Duclari, ihwal kawa daun. Dulclari terkejut saat mendengar ada minuman bernama “kopi daun”, yang menurut Verbrugge sudah biasa diminum orang-orang di Sumatra. Disebutkan bahwa itu adalah minuman dari daun kopi yang diseduh seperti teh yang berasal dari Sumatra Barat dan Kerinci.
Ada cerita, saat cultuurstelsel diterapkan dan kopi mulai jadi tanaman kebun, Belanda melarang warga pribumi meminum kopi, karena semua produk kebun hanya untuk dikirim ke pasar Eropa demi memperkaya negeri ‘kerdil’ Belanda. Maka demi bisa icip-icip hasil kebun tanam paksa, diam-diam masyarakat pun memanfaatkan daun pohon kopi untuk jadi minuman kawa daun.
Tapi ada juga pendapat bahwa kawa daun sudah biasa diminum masyarakat Sumatera Barat dan dan kawasan Kerinci – Jambi, jauh sebelum kopi jadi jadi bagian dari komoditi di zaman tanam paksa. Justru keberadan kuliner kawa daun menyadarkan pihak kolonialis Belanda bahwa manfaat tanaman kopi tak cuma biji buahnya, tapi juga daunnya yang bisa diolah jadi minuman sehat penghangat tubuh.
Begitukah? Entahlah. Yang pasti kawa daun sudah lama menjadi bagian dari kearifan lokal budaya kuliner Nusantara. Daun kopi lokal pilihan dikeringkan lalu disangrai selama 12 jam. Saat akan digunakan, daun kering ini dicampur air dingin, lalu diseduh dengan air mendidih, atau langsung digodok hingga mendidih. Diseruput saat cuaca dingin, bareng tapai ketan atau daging buah durian. Hmmm…! ***
15/11/2021 PK 20:58 WIB.