Monumen kota berbentuk sosok patung kuda nan gagah, ajang pacuan kuda di stadion di hari-hari tertentu, membuat Jeneponto beken sebagai Kota Kuda. Selain itu, pada keramaian Pasar Kuda Kelara tiap Sabtu, selalu ada penjual daging kuda, soto atau Coto Kuda, Konro Kuda, Palubassa Kuda, Kuda Panggang Saus Tomat dan Bakso Kuda,dll.
Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI
Seide.id 19/02/2023 – Di Kecamatan Kelara di Kabupaten Jeneponto – Sulawesi Selatan, ada sebuah tanah lapang yang masyarakat luas mengenalnya sebagai Pasar Kuda. Letaknya tak jauh dari lokasi jembatan sungai Kelara dimana pada minggu awal Februari lalu para aktivis arung jeram berkemah dan bersilaturahim untuk mengangkat dan menasionalkan Sungai Kelara sebagai ajang wisata olahraga arung jeram.
Disebut Pasar Kuda Kelara karena di lokasi itu tiap Sabtu pagi para pemilik dan belantik kuda dari berbagai daerah, bahkan dari Pulau Sumbawa di Nusa Tenggara Barat dan Pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur, untuk memperdagangkan hewan kuda.
Pasar Kuda sebagai tempat orang memperdagangkan kuda bukan hal baru di Indonesia. Sejak baheula di masa Kepulauan Nusantara masih dikuasai kekuatan-kekuatan politik lokal bernama kerajaan, jauh sebelum kekuatan politik itu bergabung atau menggabungkan diri dibawah bendera Sriwijaya ataupun kemudian Majapahit, yang namanya kuda lokal Nusantara (entah Kuda Sandel dari Pulau Sumba, Kuda Dompu dan Kuda Bima dari Pulau Sumbawa, ataupun Kuda Bugis dari Jeneponto) sudah diperdagangkan di Pasar Kuda berbagai daerah.
Dari kuda-kuda yang diperjualbelikan tiap pekan ini, misalnya, Gajahmada dari Majapahit atau pun Sultan Hasanuddin dari Bugis-Makassar tercatat memiliki kavaleri atau pasukan berkuda yang tangguh pada masanya.
Namun zaman berkembang. Kuda sebagai tunggangan ataupun hewan angkut digantikan dengan berbagai moda transportasi ‘kuda besi’ yang mekanikal dan elektrikal.
Sebagai hewan pembajak sawah, posisinya juga sudah digantikan traktor. Satu dua kawasan budaya memang masih memberdayakan tenaga kuda alamiah sebagai penarik cikar, pedati ataupun kuda balap. Tapi sejujurnya peran kuda di zaman ini memang sudah jauh berkurang.
Tak heran bila situasi ini juga berpengaruh pada eksistensi dan keberadaan pasar kuda di berbagai daerah. Pasar Kuda di Kota Cimahi (bersebelahan dengan Kota Bandung) di Jawa Barat misalnya kini berubah jadi pasar umum tanpa satu pun transaksi penjualan kuda.
Di Kabupaten/Kota Dompu dan Kabupaten/Kota Bima di Sumbawa – NTB ataupun Pulau Sumba yang hingga kini tetap dikenal sebagai daerah-daerah penghasil kuda Indonesia, bahkan dikenal memiliki budaya dan atraksi pacuan kuda, secara resmi kini tak lagi memiliki pasar kuda.
Bagi instansi atau pun orang seorang yamg berminat membeli, bisa langsung mendatangi pemelihara atau pun peternak kuda di kampung-kampung atau saat ada festival, semisal saat ada Festival Pasola di Sumba ataupun Festival Tambora di padang luas Doro Nganga di Kabupaten Dompu.
Uniknya, fenomena ini seperti tak berlaku di Jeneponto. Dari masa ke masa, konon sejak zaman Sultan Hasanuddin dimana wilayah kesultanan yang dipimpinnya juga mencakup wilayah Sumbawa, Dompu dan Bima, Pasar Kuda di Kelara tiap Sabtu tetap ramai dengan berbagai aktivitas jual-beli kuda. Kenapa bisa begitu? Bisa jadi ini karena dalam.tradisi budaya yang berlaku di masyarakat Jeneponto, kuda dipelihara dan diternak tak hanya sebagai hewan tunggang ataupun penarik pedati dan pengangkut beban.
Sebagaimana juga yang berlalu di sebagian kecil masyarakat Yogyakarta, dalam budaya Jeneponto kuda juga dimanfaatkan dagingnya sebagai bahan kuliner.
ADA BANYAK orang, karena alasan tertentu, tidak makan daging kuda. Tapi tidak demikian dengan warga masyarakat di Jeneponto. Di kabupaten Sulawesi Selatan yang letaknya pun berada di bagian paling selatan dari bentang Pulau Sulawesi itu, daging kuda dikonsumsi masyarakat sejak zaman baheula.
Mampirlah ke Jeneponto yang secara nasional dijuluki sebagai Kabupaten Kuda Indonesia. Julukan ini melampaui kota/kabupaten di sekujur Pulau Sumbawa di NTB dan Pulau Sumba di NTT yang dikenal sebagai daerah penghasil kuda utama di Indonesia.
Seperti Kota Waikabubak di Pulau Sumba atau pun Kota Bima dan Kota Dompu di Pulau Sumbawa, di pusat keramaian Jeneponto juga terdapat monumen kota berbentuk sosok patung kuda nan gagah. Di kabupaten ini juga terdapat stadion khusus yang di hari-hari tertentu digelar ajang pacuan kuda.
Tapi bukan hanya monumen itu yang membuat Jeneponto beken sebagai Kota Kuda. Juga bukan cuma karena keramaian Pasar Kuda Kelara tiap Sabtu, tapi juga karena tiap hari selalu ada penjual daging kuda di pasar-pasar tradisional, disamping tentu) daging sapi, kambing, ayam ataupun ikan.
Ada kredo budaya yang berlaku umum di tengah masyarakat Jeneponto, yakni: sebuah pesta, hajatan pengantin misalnya, dirasa tidak afdol bila tidak terhidang sajian kuliner berbahan daging kuda. Soto atau Coto Kuda, Konro Kuda, Palubassa Kuda, Kuda Panggang Saus Tomat dan Bakso Kuda.
Jangan khawatir bila Anda tak diundang datang ke pesta. Datangi saja warung-warung bakso kuda dan restoran soto kuda yang bertebaran di banyak pelosok kota Jeneponto. Nikmati semangkuk dengan potongan lontong atau burasa. Asyiiik…dan eksklusif.
Oya, banyak kawan bilang, daging kuda sekaligus juga obat kuat, lho…! *
21/02/2023 PK 22:25 WIB.