KARENA itu pula, dia paham peta kepenyairan di Kalimantan Selatan sebagaimana bisa dibaca dalam Sketsa Penyair Muda Kalsel “Siapa yang akan Menjadi Penyair…” (Harian Merdeka, 28 September 1982). Perkenalannya dengan penyair muda Kalsel itu antara lain didapat karena kebiasaannya membaca koran lokal, Banjamsin Post maupun Majalah HAI serta tentu banyak media lain.
Pada tahun 1980-an, koran tersebut memang setiap hari menyajikan rubrik puisi yang diberi nama Dahaga. Arief pun menyebut sejumlah nama penyair muda, seperti Tajuddin Noer Ganie, Maman S Tawie, Micky Hidayat, Radius Ardanias, dan Achmad Fahrawi. Mereka inilah yang berhasil menancapkan kukunya di media Ibu Kota Jakarta. Di usianya yang baru 22 tahun, saat itu Arief pun mencoba membedah karya-karya mereka.
Pergaulannya yang luas pula yang membuatnya mengenal peta kepenyairan di berbagai daerah lain seperti Bandung, Tegal, Yogya, Malang, dan lain-lain. Di masa itu, jurnalis memang harus benar-benar banyak membaca agar paham benar apa yang mereka tulis. Beda dengan jurnalis sekarang. Mereka cukup membaca Google sekilas untuk mengetahui sesuatu yang akan ditulisnya.
Sebagai informasi tambahan, buku ini berisi kumpulan tulisan sang jurnalis-penyair yang pernah dimuat di berbagai media pada tarikh awal 1980-an hingga tahun 2020. Pengajar di Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) ini membagi karyanya ke dalam apa yang disebutnya dengan zona atau bab.
Zona I berisi pembicaraan 11 penyair Indonesia; Zona II skesta para penyair di sejumlah kota dan para wanita penyair; Zona III mengenai kiprah para penyair saat usia muda; Zona IV In memoriam sejumlah penyair serta Zona V dan VI. Dua zona terakhir merupakan kapita selekta puisi-puisi Nobel, terjemahan sajak-sajak Amerika, puisi penyair Indonesia untuk Bosnia, hingga cerita tentang para prajurit TNI (ABRI waktu itu, pen) yang antusias mengikuti suatu lomba baca puisi. Ada pula bonus tentang sastrawan Iman Budhi Santosa, alumnus penyair Malioboro yang berlatar belakang akademisi.
Selanjutnya, Antologi lagu kebangsaan
Terakhir, semoga tulisan ini bisa menggambarkan kegilaan sahabat saya ini. Kalau tidak gila, mana mungkin dia bisa menyusun nyaris sendirian buku Simfoni Indonesia, Antologi Lagu untuk Negeri (Djarum Bhakti Foundation, 2007).
Buku ini berisi 62 lagu dengan tema (bendera) merah putih atau kebangsaan karya sejumlah musisi papan atas Tanah Air seperti Koes Plus, Gombloh, Iwan Fals, Franky Sahilatua, Guruh Soekarnoputra, Harry Roesli, Ully Sigar Rusady, Chandra Darusman, Ian Antono, Ebiet G. Ade, Slank, Gigi. Tidak hanya itu, buku ini juga dilengkapi sejarah singkat dan notasi musik. Sungguh, ini kerja yang memerlukan ketekunan dan ketelitian luar biasa. Pantas, Djarum pun dengan bangga membagikan buku ini ke sekolah negeri di Indonesia. Bahkan, buku ini diluncurkan secara besar-besaran di Surabaya dalam suatu konser musik memperingati Hari Pahlawan 10 November 2007.
Kalau masih belum yakin tentang kegilaannya, cobalah sekali-sekali minta dia untuk menunjukkan penjual sate Tegal paling maknyus di Jabodetabek. Jangan-jangan dia lebih paham tentang sate Tegal dibandingkan semua orang Tegal yang ada di bumi pertiwi ini. Ya, kuliner (terutama sate) adalah kegilaannya yang lain. (end)