REFLEKSI oleh Belinda Gunawan
Waktu pertama bersekolah, oleh papaku aku tidak dimasukkan ke sekolah sejenis Pa Hua, tapi ke SR sederhana tak jauh dari rumah. Di situ aku bergaul dengan teman-teman yang umumnya masih ‘tetangga’. Pada umumnya kami berjalan kaki ke sekolah. Teman sekelasku antara lain Soe Hok Gie dan kakaknya, Soe Hok Djin yang lebih dikenal sebagai Arief Budiman.
Aku lulus pas-pasan. SMP-ku swasta, agak jauh dari rumah tapi masih bisa kucapai dengan sepeda, dan teman-temanku sudah lebih beraneka asal-muasalnya. Tiga tahun kemudian aku masuk SMAK (Kristen). Di sini aku berteman dengan nyong Ambon manise, Ucok dan Butet dari Sumatera Utara, Nona dan Sinyo dari Minahasa.
Kemudian luluslah aku, dan masuk Universitas Indonesia, sekaligus ‘masuk Indonesia’. Novice ini (begitu kami dipanggil) yang kecil-meringkil bermata sipit, tahu-tahu dikelilingi Senior-senior dan Seniorita-seniorita dari seluruh kepulauan Nusantara. Ada yang memang berumah di Jakarta, ada yang kos, dan banyaaak lagi yang mangkal di asrama mahasiswa Daksinapati yang sekompleks dengan kampus, atau Wismarini yang lebih jauh.
Apakah aku kagok? Apakah aku mengalami diskriminasi ras yang membekas lama, membuatku pahit dan sinis? Oh tidak… justru itu tahun-tahun bahagia bagiku. Walaupun disebut ‘anak SMP’ gara-gara sosokku yang kecil, aku merasa kehadiranku diterima oleh kakak-kakak kelasku, lelaki maupun perempuan. Belum lagi persahabatan manis dengan teman-teman seangkatan yang hanya 30-an orang jumlahnya. Dan tentunya bimbingan dari dosen-dosen yang berasal dari berbagai suku dan asal, dari asli Indonesia hingga WNI keturunan Belanda dan Cina.
Ada satu kejadian yang sampai sekarang masih kukenang. Waktu itu masa perkenalan (perpeloncoan) yang sangat ‘jinak’ baru saja selesai, dan untuk menandainya diadakan upacara bendera. Dari sekian banyak mahasiswa baru, oleh seniorku dari Flores yang menjabat ketua panitia, aku dipilih menjadi pengerek bendera bersama seorang novice cowok. Ketika aku memegang tepi bendera, lalu melepasnya dan melihatnya naik perlahan-lahan, meliuk-liuk ditiup angin dan akhirnya mantap di ujung tiang bendera… aku merasa ada haru.
Aku merasa diriku resmi jadi warga Universitas Indonesia sekaligus cukup dewasa menyandang predikat sebagai warga Republik Indonesia.
Ah, kerukunan berkuliah tanpa prejudice SARA yang kurindukan bagi anak cucuku….