Kurus

Dulu, beberapa saat setelah aku ‘merasa sembuh’ dari stroke (meski jalan masih terseok-seok sampai sekarang, dan lebih banyak melakukan aktivitas dgn bagian tubuh sebelah kiri, termasuk menggambar -aku bukan kidal). Seorang teman istri yang kebetulan dokter, bilang begini:

“Salah-satu penyebab stroke adalah fikiran. Jadi, berhati-hatilah jika membaca berita di koran atau menonton suatu informasi di televisi, di media sosial atau di mana pun,…santai saja. Jangan membebani fikiran. Misalnya ingin merespon, ikut geregetan atau berfikir tentang solusi dari suatu persoalan yang dibaca atau ditonton itu. Kalau perlu, hindari saja tontonan atau informasi yang membuat jengkel, anyel, geregetan dan mengganggu fikiran”.

Mungkinkah?

Jika sedang di Sumsel, pagi selepas jalan selepas subuh di sekitar rumah atau sesekali ‘melok pasar’, aku ngeteh pagi, sambil berjemur. Ngobrol dengan bapak mertua dan menunggu adik ipar membuka bengkel sepeda motornya (kebetulan di depan rumah). Aktivitas rutin itu (sebelum aku ‘dihampiri ide’ untuk nyeket atau nggambar tentang apa saja), biasanya aku membaca koran Tribun Sumsel.

Adik iparku pernah cerita bernada bergurau bahwa dia berlangganan koran itu, antara membutuhkan informasi tentang Sumsel dan material kertas untuk pembungkus itu adalah:…50-50, haha”…

Yang aku rasakan, baik di koran, atau di media sosial, baik peristiwa-peristiwa maupun reaksi masyarakat, tentang suatu peristiwa, adalah reaksi yang: hitam-putih!

Reaksi hitam-putih untuk hampir semua peristiwa disekitar itu terjadi di hampir semua strata masyarakat. Reaksi hitam-putih itu terjadi tanpa disadari. Sangat bolehjadi karena kita sejak kecil sudah dicekoki untuk bereaksi seperti itu. Lingkungan terdekat kita sejak kecil pun jika bereaksi, ya,…seperti itu. Sehingga, tanpa disadari, itulah reaksi kita terhadap hampir semua peristiwa. 2 kutub yang berbeda dengan kontras. Jika tidak baik, pastilah buruk. Jika tidak putih, pasti hitam. Padahal di antara hitam dan putih itu,…ada jutaan warna lain. Menyedihkan sesungguhnya.

Kemarin, ada peristiwa lucu. Seseorang (bersama keluarga dan kerabatnya) akan berlibur ke suatu negara tetangga. Tapi, negara yang hendak dimasuki itu mempunyai peraturan yang menyebabkan orang itu tak bisa masuk. Hlaah,…ya sudah. Sederhana saja bukan?

Di media sosial, banyak dan ramai sekali orang berkomentar. Di antara komentar yang ramai itu, tentu ada satu-dua yg berkomentar secara jernih, lugas, bijaksana, bahkan sangat teknis tentang aturan kenegaraan. Tapi, rata-rata, sebanyak dan seramai itu komentar yang berseliweran,…intinya tetap sama, yaitu cuma 2 hal, hitam-putih. Menghujat negara yang menolak masuknya orang itu..dan yang memuja!

Sekarang, mari kita tengok berita lain di koran Sumsel itu.

Kebun kelapa sawit adalah mata pencarian utama para petani di Sumsel, selain nanas dan duku sebagai selingan, juga perkebunan karet. Sawit, yang kita ketahui (minimal aku) hanya bahan dasar minyak goreng. Ternyata banyak kegunaannya. Sawit adalah bahan dasar yang diolah menjadi sabun, minyak bahan bakar, kosmetik dll.

Seorang kerabat dekat rumah mertua, bilang: “Tak ada yang terbuang dari sawit. Secara sederhana, sabutnya bisa diperas dan disaring begitu saja untuk menjadi minyak goreng, tanpa proses di suatu pabrik atau teknologi yang rumit. Tempurungnya, bisa jadi bahan bakar yang tahan lama, lebih panas dari arang atau kayu, dan aromanya harum untuk menggoreng kopi. Kebetulan, kerabat ini, pernah sekian lama rumahnya dijadikan sebagai tempat jasa penggorengan kopi. Sayang, sekarang tak lagi. Ah, jadi ingat, beberapa waktu lalu, jika ngopi pagi, aroma kopi semakin sedap ditambah aroma kopi yang sedang digoreng dan aromanya menguar sampai ke rumah mertuaku.

Kemarin, membaca berita di koran Sumsel, ada berita yang membuatku senang. Beberapa desa di Jambi, para petaninya memperoleh hasil panen kelapa sawit melimpah. Pabrik-pabrik pengolah sawit memberikan harga yang sangat layak. Banyak petani menjadi kaya mendadak. Banyak petani membeli bbrp mobil, bahkan membeli rumah. Tak terbaca petani (seperti tabiat org kaya mendadak di manapun, haha…) yang tergoda untuk kawin lagi. Mungkin ada, tapi diam-diam saja,…hahaha.

Tapi,…hanya berselang 2 hari kemudian, ada berita sebaliknya. Berita di koran yang sama. Peristiwanya terjadi masih di sekitar Sumsel. Petani sawit menangis. Karena puluhan ton sawitnya yang baru saja dipanen, dibawa dengan beberapa truk (ada yang menyewa truk dan memiliki truk sendiri),…ditolak, tak dibeli oleh pabrik pengolah sawit. Atau jika dibeli pun, dengan harga yang sangat rendah. Harga yang (menurut istilahku)…menghina.

Karena setelah dibawa ke sana – ke mari tak ada pabrik yg membeli, akhirnya sebagian terbengkalai dan membusuk. Petani menjerit. Mengadu ke koperasi atau semacam tempat berkeluh kesah para petani sawit.

Ternyata penyebabnya, menurutku agak mirip dengan: kenapa harga tomat tempohari jatuh sampai-sampai petani dengan menahan tangis, di Jabar, jateng dan Lampung memilih membuang tomatnya, drpd dibeli dengan harga yang ‘menghina’.

Kelapa sawit pun demikian. Karena pemerintah melarang sama-sekali ekspor sawit. Akhirnya panen melimpah. Pabrik tak mau membeli, atau membeli dengan harga yang sangat murah. Padahal, beberapa hari lalu, masih di provinsi yang sama, petani sawit meledak dengan kegembiraan! HItam-putih.

Untunglah, pemerintah cepat merespon. Alasan yang dikemukakan oleh juru bicara yang mewakili para petani sawit, jelas. Lalu larangan ekspor, dicabut. Kran ekspor kembali dibuka. Para petani kembali bernafas lega.

Tapi,…aku kok lama-lama jadi berfikir. Apa-apa kok Presiden. Kemarin, ketika minyak goreng langka (konon sampai sekarang pun belum teratasi secara tuntas), yang mengakibatkan berita jadi simpang siur. Katanya karena inilah, karena itulah, karena mafialah,…dll. Ada mentri yang berjanji bahwa mafia minyak goreng akan ditindak tegas. Lalu, seperti biasa, seperti dulu, dari jaman orde baru, sang mentri turun ke pasar bersama rombongan. Diliput televisi, sang mentri bertanya tentang harga,…dengan latar belakang para ajudan sang mentri mengangguk-angguk. Eeh,…hla yang tertangkap malah dirjen. Lalu presiden melarang apa-pun ekspor yang mengakibatkan minyak goreng langka!

Kemarin, para petani pun mengadu kepada (lagi-lagi) Presiden, supaya kran ekspor sawit kembali dibuka.

Hlaaa,…trus,…para pembantu Presiden pada ngapain?
Eiits, jangan salaaah. Mereka juga sibuk tauuuk!
Sibuk,…sibuk ngapain?
Sibuk kampanye. ‘Kan mereka pada nyapres!

Oo,…pantesan Presiden kita semakin kurus saja…

(Aries Tanjung )