“Mbak… suamiku sering banget bohong. Pamitnya pergi mancing sama teman cowo semua, nggak tahunya reuni SMA. Aku lihat di facebook teman seangkatannya.”
“Sering tuh bohong nggak penting kayak gitu. Ngaku ke aku nggak punya duit, jadi dia ogah diajak nonton bioskop. Eee abis itu bisa beliin baju buat keponakan. Aku tahunya ketika ipar telpon, ucapin terimakasih melalui aku.”
“Kalau lagi bener, dia hobi banget kasih bukti foto kemana aja dia pergi dan ngapain…. Makan siang ketoprak aja, dia fotoin, terus dikirim ke WA ku. Tapi setiap kali sedang pergi yang bikin dia merasa bersalah sendiri, tiba-tiba perilakunya yang demen kasih barbuk itu, berhenti. Bisa seharian nggak ada kabar. Ditelpon-telpon juga nggak diangkat.”
“Aku juga nggak pernah tahu berapa gajinya.”
“Aku jadi nggak bisa percaya deh, setiap kali dia bicara.”
Semua kalimat itu kubaca di messangerku, dari beberapa orang yang berbeda.
Biasanya, kuketik balasan begini :
“Problem dengan pembual, itu umumnya ada pada ekspektasi kita sendiri. Persoalannya adalah : KITA SANGAT INGIN PERCAYA KEPADANYA.”
“Kita berharap dia jujur, supaya KITA BISA PERCAYA KEPADANYA.”
“Mustinya, biarkan saja mereka membual apapun yang mereka ingin bualkan. Bebas lah, itu kan mulut mereka sendiri. Sementara kita kan juga punya kebebasan : mau percaya atau tidak. Kan ini pikiran kita sendiri…”
“Pernahkah kamu sebal pada tukang jual obat yang sibuk ndobos di perempatan pasar malam?”
“Jika kamu nggak punya rencana untuk menumbuhkan brewok dengan minyak goreng yang dia klaim sebagai obat penumbuh rambut itu…. Maka kamu nggak akan pusing dengan apapun yang diocehkannya kan? Kamu akan berlalu menjauh dan tidak memikirkannya, apalagi mempermasalahkannya kan..?”
“Jadiin tontonan aja, say…. Orang bohong itu lucu kok salto-salto logikanya. Temukan rasa humor pada dirimu, agar hidup ini jadi terasa mendingan….”
“Tapi mbak, kami kan suami istri….” biasanya mereka menulis jawaban begitu.
“Memangnya kenapa, kalau suami istri?” tanyaku balik.
“Ya kan suami istri mustinya saling terbuka dan jujur….”
“Mustinya…? Kamu berekspektasi pada hal yang semestinya. Tapi persoalannya adalah kenyataannya nggak sesuai ketentuan umum, lalu gimana? Kamu mau ngapain dengan kenyataan itu?”
“Nggak tahu…. menurut mbak Nana aku harus gimana….?”
“Ya aku nggak tahu, wong itu suamimu dan pernikahanmu. Kamu yang jalanin, ya kamulah yang tanya ke dirimu sendiri : kamu inginnya gimana dengan sikonmu ini….?”
“Kalau mbak Nana jadi aku, mbak Nana akan ngapain?”
Hahahahahahaha aku tertawa membaca pertanyaan ini.
Selalu gitu deh. Orang-orang menyodorkan permasalahan hidupnya, tapi aku yang disuruh mikir…. Sesudah itu, aku juga yang diminta berandai-andai, seumpama aku ada di posisi mereka.
Kukasih tahu ya….. aku bukan tipe orang yang bisa toleran pada ikatan pernikahan yang merepotkan dan ngabisin energi (karena berpasangan dengan orang yang punya masalah ejakulasi, ‘gatal’ dengan lawan jenis, gangguan emosional atau psikologis)…. Jadi kalau aku ada di posisi kalian, ya sudah sejak kapan-kapan aku bakal hempassskan.
Boleh ya…? Mbesuk-mbesuk jangan bertanya soal penikahan kepadaku lagi.
Karena jawabanku bakal simpel :
Kalau sudah nggak tahan, ceraikan.
Kalau masih mau bertahan, jangan mengeluh.
Catatan : di bawah ini ada beberapa gambar yang bisa direnungkan. Siapa tahu bisa jadi alternatif yang cocok bagi sikonmu, jika kamu tak bisa percaya pada pasangan yang hobi bohong…. tapi kamu nggak (atau belum) mau bercerai.
YBS_sudah_dapat_solusi.
aku_diijinkan_menulis_kisah_ini
(Nana Padmosaputro)